Kamis, 19 Januari 2012

Pandangan Asy Syaukani rahimahullaah Terhadap Masalah Berbilangnya Imam

As-Syawkâni berkata:
“Setelah Islam tersebar, wilayahnya terbentang luas dan masing-masing penjurunya berjauhan, maka harus dimaklumi jika otoritas kepemimpinan di masing-masing kawasannya berubah mempunyai seorang imam atau penguasa, dan di satu atau beberapa kawasan lain juga demikian. Masing-masing tidak berhak menjalankan perintah dan larangan di kawasan yang lain, serta kawasan-kawasan yang berada dalam otoritas kekuasaannya. Oleh karena itu tidak ada masalah jika ada lebih dari satu imam dan penguasa. Bagi penduduk di suatu kawasan wajib mentaati masing-masing di antara mereka, setelah dibai’at; di wilayah itulah semua perintah dan larangnnya wajib dilaksanakan.Demikian juga penduduk kawasan lain. Jika ada orang yang bangkit untuk merebut urusan tersebut di kawasan yang ditetapkan menjadi tempat kekuasaannya, kemudian dia juga telah mendapat bai’at dari penduduk setempat, maka hukumnya adalah wajib dibunuh, jika dia tidak bertaubat. Sementara, bagi penduduk di kawasan lain tidak wajib untuk mentaatinya dan bergabung dengan otoritas kekuasaannya, karena kawasannya berjauhan. Sebab, kadangkala informasi mengenai imam dan penguasanya tidak bisa sampai karena jauhnya jarak dengan kawasan tersebut. Siapa di antara mereka yang masih hidup dan mati pun kadang tidak diketahui. Padahal, perintah taat dalam kondisi seperti ini merupakan perintah untuk melakukan apa yang berada di luar batas kemampuannya. Ini telah dimaklumi oleh setiap orang yang bisa menelaah keadaan manusia dan negeri tersebut. Penduduk Cina dan India, misalnya, mereka tidak mengetahui siapa yang mempunyai otoritas kekuasaan di tanah Maroko, lebih-lebih mereka harus mentaatinya. Demikian pula sebaliknya. Begitu juga penduduk kawasan Wara’ an-Nahr, juga tidak akan mengetahui orang yang mempunyai otoritas kekuasaan di Yaman. Dan, sebaliknya. Ketahuilah, bahwa hal ini relevan dengan kaidah syara’ dan sesuai dengan apa yang ditunjukkan oleh sejumlah dalil. Biarkanlah pendapat lain dikemukakan. Sebab, perbedaan antara apa yang ada pada otoritas kekuasan Islam di era permulaan Islam dan kondisi sekarang jauh lebih jelas, ketimbang sinar matahari. Siapa saja yang mengingkarinya sebenarnya merupakan orang yang tumpul, yang tak layak diseru dengan hujjah. Sebab, dia tidak akan memahaminya“.[1]

Inilah redaksi yang dikemukakan oleh as-Syawkâni. Di situ beliau mengemukakan pandangannya seputar unifikasi negeri-negeri Islam seiring dengan kesatuan Khalifah atau imam. Pandangan ini telah diadopsi dan dikutip seperti apa adanya oleh Shiddîq bin Hasan al-Qanûji al-Bukhâri dalam kitab, ar-Rawdh an-Nadiyyah. Hanya saja, di akhir redaksinya, beliau tambahkan dengan: wallâha al-musta’ân (hanya kepada Allah tempat meminta pertolongan).[2]
Redaksi tersebut sangat gamblang, sebagaimana yang ditunjukkan. Hanya saja, sebelum kami mendiskusikannnya, kami ingin membatasi poin-poin utama pemikiran yang ditunjukkannya, supaya diskusi tersebut hanya berkisar mengenai persoalan tertentu. Pemikiran yang dinyatakan dalam teks tersebut adalah:
1- Ada perbedaan antara apa yang ada pada wilayah kekuasaan di zaman permulaan Islam dengan apa yang ada sekarang. Maksudnya, pada zaman as-Syawkâni. Sebelum mengemukakan redaksi ini, beliau telah mengemukakan apa yang dikemukakan oleh para fuqaha’, bahwa kesatuan Khilafah hukumnya wajib, dan bahwa hukuman bagi orang yang merebut kekuasaan adalah dibunuh, jika dia tidak bertaubat. Demikian juga beliau telah mengemukakan tentang ketidakbolehan penyerahan Khilafah kepada dua orang. Dengan demikian, sebenarnya beliau juga sepakat dengan apa yang dikemukakan oleh kalangan Jumhur, khususnya menyangkut otoritas kekuasaan di zaman permulaan Islam. Beliau pun telah menetapkannya dengan tiga abad pertama. [3]
2- Diperbolehkannya ada banyak imam dan penguasa setelah Islam tersebar, dan wilayahnya terbentang luas, dengan berbagai penjuru yang saling berjauhan.
3- Bagi penduduk setiap kawasan wajib mentaati imam yang sah secara syar’i, sebagai pemegang otoritas kekuasaan di kawasan itu saja, berdasarkan bai’at mereka kepada imam tersebut. Sementara penduduk kawasan lain tidak diwajibkan untuk mentaati imam kawasan lain tersebut.
4- Jika imam satu kawasan melakukan usaha menggabungkan wilayah Islam lain dengan wilayahnya, maka aktivitas tersebut dianggap sebagai penyerangan terhadap para pemilik kawasan lain, sekaligus merupakan perebutan kekuasaan yang telah ditetapkan berdasarkan bai’at kepadanya di kawasan yang diserang tadi. Dalam kondisi seperti ini, maka hukum imam yang berusaha menyatukan kawasan-kawasan Islam lain dengan kekuatan, kemudian menggabungkannya di bawah kekuasaannya tanpa kerelaan dari para penguasa dan penduduk kawasan tersebut; status hukum bagi orang tersebut adalah dibunuh, jika dia tidak bertaubat.
5- ‘Illat (alasan hukum) diperbolehkannya ada banyak imam di kawasan Islam sebagaimana yang ditunjukkan setelah tiga abad pertama, karena kawasan-kawasan Islam tersebut satu sama lain saling berjauhan, sebagaimana jauhnya jarak Cina dengan Maroko, dimana informasi yang berkaitan dengan imam tersebut, baik yang telah meninggal maupun yang tengah menjalankan kekuasaan, tidak akan sampai ke kawasan yang berjauhan. Berangkat dari sana, maka perintah kepada wilayah yang jauh, misalnya, agar mentaati imam baru yang telah mengambilalih kekuasaan, sementara mereka tidak mengetahui otoritas kekuasan baru yang mendapatkan kekuasaan, tidak lain –-bagi mereka—merupakan perintah untuk mentaati sesuatu yang tidak diketahui (majhûl). Padahal, perintah kepada sesuatu yang majhûl merupakan perintah terhadap sesuatu yang berada di luar batas kemampuan. Sementara perintah di luar batas kemampuan itu telah dicabut dari umat, sebagaimana yang dikemukakan oleh ulama’ ushul fiqih,[4] sebagai implementasi dari nash syara’:

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. (TQS. al-Baqarah [2]: 286)

Bertolak dari pencabutan taklîf terhadap sesuatu yang majhûl, maka ditetapkan bahwa penduduk kawasan yang jauh pada dasarnya tidak terkena taklîf untuk mentaati imam yang jauh itu, sebab bagi mereka statusnya jelas majhûl. Tatkala kepemimpinan itu wajib bagi kaum Muslim, dan adanya bai’at di atas pundak setiap Muslim itu hukumnya fardhu, maka penduduk kawasan yang jauh tadi wajib untuk membai’at imam yang secara independen khusus mengatur urusan mereka. Kemudian, mereka memberikan ketaatan kepadanya sebagai implementasi atas wajibnya kepemimpinan bagi mereka, serta implementasi atas kewajiban adanya bai’at di atas pundak setiap kaum Muslim. Dengan demikian, realitas dunia Islam yang terdiri dari berbagai penjuru itu seakan-akan mengharuskan adanya banyaknya imam.
Selain itu, kaidah syara’ telah mengakui pandangan ini sebagaimana yang telah kami jelaskan.
Inilah yang bisa kami kemukakan mengenai alasan as-Syawkâni terhadap pendapat yang memperbolehkan adanya banyaknya imam, yang implikasinya akan melahirkan banyak negara Islam di dunia Islam.

Mendiskusikan Pandangan Asy Syaukaniy
Kini, kita memasuki tahap mengkritisi berbagai pemikiran as-Syawkâni yang baru saja disebutkan, yang memang layak untuk dikritik. Barangkali ide yang terakhir, yaitu ‘illat (alasan hukum) diperbolehkannya berpendapat tentang adanya banyak imam, merupakan gagasan terpenting yang harus dikritisi. Sebab, berangkat dari sinilah pandangan mengenai diperbolehkannya banyak imam itu lahir, serta menurunkan pandangan tentang banyaknya negara dalam dunia Islam, serta pemikiran-pemikiran yang menjadi konsekuensi dari pemikiran tersebut.
Kita akan mengkritisi dari banyak sisi, ‘illat yang menjadi pijakan pendapat yang membolehkan adanya banyak imam.
a- Memang benar, bahwa perintah terhadap sesuatu yang berada di luar kemampuan telah dicabut dalam syariat Islam, namun menurunkan kaidah ushul ini pada topik pembahasan yang tengah kita kaji tentu tidak pada tempatnya. Alasannya, karena kaum Muslim terkena taklîf agar mentaati imam dalam segala hal yang sampai kepada mereka, bukan dalam hal-hal yang tidak sampai kepada mereka, meski jelas bersumber dari imam. Dari sinilah, maka penduduk kawasan Islam yang berjauhan hanya terkena taklîf untuk mentaati imam dalam hal-hal yang sampai kepada mereka, baik berupa informasi tentang imam, perintah maupun larangannya. Sebab, di antara syarat taklîf adalah mengerti akan informasi yang berkaitan dengan taklîf-nya.[5]
Karenanya, taklîf hanya berkaitan dengan perkara yang diketahui. Perintah dan hukum yang dikeluarkan oleh imam, tidak lain merupakan taklîf terhadap perkara yang terjangkau, dan sama sekali bukannya taklîf terhadap perkara yang berada di luar kemampuannya. Seandainya seorang imam telah mengeluarkan 1000 rancangan baru kepada umat, namun hanya sedikit dari rancangan tersebut yang diketahui oleh penduduk kawasan yang jauh, maka secara syar’i mereka tidak terkena taklîf kecuali terhadap sedikit rancangan yang telah mereka ketahui. Kalau mereka sama sekali tidak mengetahui apapun, maka mereka pun tidak terkena taklîf apapun, kecuali terhadap hal-hal yang sebelumnya telah disampaikan kepada mereka, hingga mereka mengetahui hal-hal baru yang berbeda dengan sebelumnya. Kini, mari kita bertanya, di manakah taklîf dalam perkara yang berada di luar kemampuan (jangkauan)-nya dalam kasus ini?
b- Ketika seorang imam telah pergi, kemudian datang imam baru, maka begitu imam baru dengan bai’at yang sah tersebut datang berarti bai’atnya telah mengikat leher setiap Muslim di seluruh dunia Islam. Tidak ada syarat agar bai’atnya mengikat leher seorang Muslim ini ataupun itu, maka masing-masing di antara mereka harus membai’at sendiri, atau mengerti akan bai’at tersebut begitu hal tersebut terjadi.[6] Ini jelas terlihat dari fakta pembai’atan para Khalifah pada zaman sahabat. Ketika Khalifah telah meninggal atau terbunuh sementara tentara kaum Muslim sibuk di medan perang berhadapan dengan musuh di wilayah yang jauh, sementara kematian Khalifah sebelumnya dan pengangkatan Khalifah berikutnya belum sampai kepada mereka, kecuali setelah tenggat waktu —yang kadang lama atau sebentar, sesuai dengan kondisinya— dan kadang ada sejumlah kaum Muslim yang gugur sebagai syahid di medan perang tersebut setelah meninggalnya Khalifah, sedangkan informasi tentang orang yang menggantikannya belum sampai kepada mereka. Semua ini pernah terjadi pada zaman sahabat, dan tidak seorang pun di antara mereka ada yang berpendapat, bahwa siapa saja yang telah gugur sebagai syahid dalam tenggat waktu tersebut, maka dia layak disebut mati, sementara di atas pundaknya belum ada bai’at, dengan demikian dia mati dalam keadaan jahiliyah. Na’ûdzu billâh! Dengan dalih, karena pundaknya telah kehilangan bai’at terhadap Khalifah yang telah meninggal dunia, sementara mereka tidak sibuk melakukan bai’at terhadap Khalifah baru, karena tidak tahu akan adanya Khalifah baru. Saya tegaskan, bahwa tidak seorang sahabat pun yang pernah mengatakan demikian. Pengakuan mereka terhadap realitas seperti ini juga menunjukkan adanya ijma’ mereka bahwa kaum Muslim di wilayah yang jauh, baik sebagai pasukan perang ataupun penduduk setempat, tidak terkena taklîf untuk mengetahui imam mereka yang baru, kecuali ketika beritanya sampai kepada mereka. Dan kebalikan dari realitas ini justru merupakan objek dimana kaidah: taklîf dicabut terhadap sesuatu yang berada di luar kemampuan, itu bisa diaplikasikan.
c- Penduduk kawasan yang jauh tetap layak melakukan ketaatan kepada Khalifah, betapapun jauhnya jarak antara mereka, meski mereka juga tidak mengetahui informasi apapun tentang imam tersebut. Caranya, dengan mentaati amir yang telah diangkat oleh Khalifah, atau ditetapkan untuk memimpin mereka serta mendapat mandat untuk mengatur urusan mereka. Hal itu terlihat dengan jelas berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abû Hurayrah dari Nabi saw bahwa beliau telah bersabda:

Siapa saja yang mentaatiku, maka dia benar-benar telah mentaati Allah, dan siapa saja yang telah melakukan maksiat terhadapku, maka dia benar-benar telah melakukan maksiat terhadap Allah. Dan, siapa saja yang mentaati seorang amirku, maka dia benar-benar telah mentaatiku, dan siapa saja yang telah melakukan maksiat terhadap amirku, maka dia benar-benar telah melakukan maksiat terhadapku.[7]

Karena itu, tidak bisa dikatakan bahwa mentaati Khalifah itu merupakan sesuatu yang sulit, ketika jaraknya jauh, sementara ketaatan kepadanya hukumnya fardhu; maka kalau begitu harus dilakukan pengangkatan Khalifah lain yang jaraknya dekat, sehingga ketaatan kepadanya bisa dilaksanakan. Tentu, pernyataan seperti ini tidak bisa diterima, sebab mentaati amirnya imam (Khalifah) itu sama dengan mentaati imam itu sendiri. Dalam kondisi seperti ini, ketaatan kepadanya bukanlah sesuatu yang sulit. Dan, karenanya tidak bisa digunakan untuk membangun pandangan mengenai perlunya mengangkat Khalifah lain yang jaraknya dekat supaya ketaatan kepadanya bisa diwujudkan. Namun, jika terjadi, dimana ada suatu kawasan yang jaraknya jauh, kemudian karena faktor tertentu kawasan tersebut vakum dari amirnya imam, maka penduduk kawasan tersebut wajib dipimpin oleh salah seorang di antara mereka, sebagai implementasi atas kewajiban mengangkat pemimpin, yang dinyatakan dalam nash-nash yang telah disebutkan dalam pembahasan sebelumnya: Sebab, tidak boleh membiarkan kaum Muslim begitu saja tanpa ada orang yang mengatur urusan mereka. [8] Amir yang disepakati inilah yang wajib ditaati, sebagaimana amir yang telah diangkat oleh imam, dengan adanya pengakuan atau pergantian yang dilakukan oleh imam. Bahkan, mentaatinya dianggap sebagai mentaati imam itu sendiri, meski pengakuan akan kepemimpinannya atau pengangkatan orang lain untuk menggantikannya itu belum dikeluarkan oleh imam. Fakta ini relevan dengan kandungan hadits Muslim, yang telah diriwayatkan oleh Abû Hurayrah dari Nabi saw:

Dan, siapa saja yang mentaati seorang amir, maka dia benar-benar telah mentaatiku, dan siapa saja yang telah melakukan maksiat terhadap amir, maka dia benar-benar telah melakukan maksiat terhadapku.[9]

Kata amir dalam nash tersebut bisa berlaku untuk orang yang telah diangkat oleh imam, juga bisa berlaku untuk amir sementara yang disepakati oleh khalayak, sampai imam mengakui atau menggantinya. Nash ini menyatakan ketaatan kepada amir ini juga merupakan ketaatan kepada imam itu sendiri. Lalu, apakah setelah semuanya ini masih bisa dikatakan bahwa perintah terhadap kaum Muslim di wilayah yang jauh agar mentaati imam merupakan taklîf terhadap sesuatu yang berada di luar kemampuannya?
Inilah yang kami pandang perlu dalam mengkritisi asas yang menjadi pijakan lahirnya pandangan yang membolehkan adanya banyak imam, yaitu alasan bahwa status taklîf untuk mentaati imam di kawasan yang jauh merupakan taklîf terhadap sesuatu yang berada di luar kemampuan. Kami berpendapat, bahwa penerapan kaidah tersebut tidak sesuai dengan fakta empiris dan fakta syar’i. Karena itu, pandangan yang menyatakan diperbolehkannya ada banyak imam jelas tidak bisa diterima, karena ketidakabsahan asas yang menjadi pijakannya. Maka, pandangan yang benar adalah pandangan yang telah dikemukakan oleh an-Nawawi, sebagaimana pernyataan beliau:

Para ulama’ telah sepakat, bahwa tidak diperbolehkan dua orang Khalifah diangkat pada waktu yang bersamaan, baik negeri Islam tersebut telah berkembang luas ataupun tidak…[10]

Sebelum kami meninggalkan pendapat as-Syawkâni yang telah kami kemukakan dan telah kami kritik, terpaksa kami harus kemukakan pengaruh psikologis yang diwariskannya di tanah Islam saat ini. Maksud saya adalah yang berkaitan dengan seruan penduduk setiap kawasan agar mentaati amir kawasan mereka saja, serta pernyataan bahwa setiap amir yang berusaha untuk menyatukan negeri tersebut dengan kekuatan fisik sebagai agresor yang berusaha merebut kekuasan pihak lain yang sah, sehingga hukumnya harus dibunuh. Demikian juga kami harus bersikap adil terhadap as-Syawkâni, serta mencegah agar pandangan yang diisyaratkannya tidak dieksploitasi untuk mengukuhkan fakta pembagian wilayah sebagaimana yang kita alami pada zaman kita sekarang.
Karenanya, kami harus katakan bahwa pendapat as-Syawkâni ini barangkali bisa menyerang sense of Islam sebagian besar kaum Muslim, yang menancapkan perasaan unifikasi dengan kuat; perasaan yang hingga kini masih terjaga, dimana Anda bisa menyaksikan dunia Islam — yang telah dipecah belah oleh imperialis menjadi banyak negara kecil— itu benar-benar akan dikembalikan oleh kaum Muslim yang telah merdeka menjadi beberapa wilayah dalam sebuah negara, yang akan diperintah oleh kepala negara dari seluruh wilayah Islam yang telah disatukan, yakni Khalifah kaum Muslim.
Demikian juga hingga kini masih terjaga, sebagaimana Anda bisa menyaksikan umat Islam yang telah dikerat-kerat oleh imperialis menjadi sejumlah bangsa, besar dan kecil, ada yang saling tidak mengenal dan ada yang saling kenal. Semua itu dilebur oleh kaum Muslim yang telah merdeka dalam sebuah wadah umat Islam. Di sanalah mereka akan menjadi satu rakyat yang bernaung di bawah satu negara, yang mengusung apa yang saat ini dikenal dengan istilah satu kewarganegaraan.
Saya tegaskan, barangkali pandangan as-Syawkâni di atas memang bisa menyerang sense of Islam, sebagaimana yang telah kami kemukakan. Namun, menjadi bagian dari sikap yang adil, jika kami harus mengatakan bahwa as-Syawkâni sebenarnya tidak mengakui adanya banyak imam, kecuali sebatas apa yang disebutnya karena faktor jauhnya jarak kawasan Islam; yang barangkali bisa diwakili dengan pernyataan beliau:

Penduduk Cina dan India, misalnya, mereka tidak mengetahui siapa yang mempunyai otoritas kekuasaan di tanah Maroko.[11]

Jika demikian, sebenarnya as-Syawkâni tidak mengakui realitas perpecahan yang kita alami saat ini, namun beliau hanya mengakui faktor jauhnya jarak antar kawasan yang berjauhan, sebagaimana yang telah kami paparkan. Yang menjadi ‘illat (alasan) dalam pengakuan ini tentu sesuai dengan ijtihad beliau, adalah faktor keterputusan informasi dari imam untuk sampai ke kawasan-kawasan yang jaraknya berjauhan, sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya. Dan berdasarkan kaidah usul yang menyatakan:

Hukum itu berjalan mengikuti ‘illat-nya; ada dan tidaknya.[12]

Kami berpendapat, bahwa pandangan as-Syawkâni tersebut tidak bisa menjadi justifikasi syara’ —sebagaimana ijtihad beliau— terhadap fakta perpecahan yang dialami oleh dunia Islam saat ini. Bahkan, beliau juga tidak pernah mengakuinya, apapun alasannya. Karena ‘illat yang digunakan untuk mengakui fakta dalam ijtihad as-Syawkâni itu telah hilang ketika berbagai sarana komunikasi modern saat ini bisa menyampaikan informasi seputar imam tadi ke seluruh kawasan di dunia Islam, bahkan secara audio visual atau siaran langsung. Maka kami kemukakan, bahwa ijtihad as-Syawkâni dan pengikutnya, Shiddîq Hasan al-Qanûji serta pendahulu mereka, Imam al-Haramayn; sekali lagi kami tegaskan, bahwa ijtihad imam-imam ini sebenarnya tetap menyepakati konsep kesatuan Khilafah Islam yang telah dikemukakan oleh jumhur ulama’, serta unifikasi negara Islam sebagai implikasi dari pandangan tersebut, seiring dengan hilangnya ‘illat yang menjadi pijakan para penggagas pembagian otoritas kekuasan dan kebolehan adanya banyak imam, karena anugerah zaman modern yang memberikan kemajuan sarana komunikasi, dan sekaligus telah menghilangkan ‘illat tersebut. Demikianlah, pandangan fiqih Islam di atas kembali menyepakati —meski dengan ragam ijtihadnya yang mu’tabar— wajibnya kesatuan Khilafah Islam. Dengan begitu, juga sepakat terhadap unifikasi negeri Islam di bawah naungan negara Khilafah….



[1] As-Syawkâni, as-Sayl al-Jarrâr al-Mudaqqiq ‘alâ Hadâ’iq al-Azhâr, juz IV, hal. 512.

[2] Al-Qanûji, ar-Rawdh an-Nadiyyah, juz II, hal. 518.

[3] As-Syawkâni, as-Sayl al-Jarrâr al-Mudaqqiq ‘alâ Hadâ’iq al-Azhâr, juz IV, hal. 512.

[4] Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, juz III, hal. 430; ‘Alî Hasaballah, Ushûl at-Tasyrî’ al-Islâmi, hal. 38.

[5] Al-Badakhsyi, Manâhij al-‘Uqûl fî Syarh Minhâj al-Ushûl, juz I, hal. 170; ‘Alî Hasaballah, Ushûl at-Tasyrî’ al-Islâmi, hal. 401. Dalam kitab Ushûl al-Fiqih karya Abû Zahrah, telah dinyatakan: Ketidaktahuan akan dalil akan menggugurkan taklîf, karena seruanya tidak mempunyai arah. hal. 351. Lihat, Wahbah az-Zuhayli, Ushûl al-Fiqih al-Islâmi, juz I, hal. 178.

[6] Al-Mâwardi, al-Ahkâm as-Sulthâniyyah, hal. 15.

[7] Muslim, Op. Cit., hadits no. 1835, juz III, hal. 1466.

[8] As-Siyar al-Kabîr wa Syarhuh[u], juz II, hal. 803.

[9] Muslim, Op. Cit., hadits no. 1835, juz III, hal. 1466.

[10] An-Nawawi, Syarh, juz VIII, hal. 40.

[11] As-Syawkâni, as-Sayl al-Jarrâr al-Mudaqqiq ‘alâ Hadâ’iq al-Azhâr, juz IV, hal. 512.

[12] Muhammad Zakariya al-Bardisi, Ushûl al-Fiqh, hal. 268.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar