Kamis, 26 Januari 2012

Tanggapan Untuk Sigit Kamseno [Aktivis Hizbut Tahrir tak Paham Demokrasi] ???

Dengan latar belakang pribadinya –yang merupakan intelektual dengan segudang pengetahuan akademis- Saudara Sigit Kamseno melontarkan serangan kepada para syabab HT -terkait pandangan mereka terhadap demokrasi- di dalam sebuah catatan panjang, yang di dalamnya terdapat bumbu-bumbu penyedap, berupa ungkapan-ungkapan di luar substansi pembahasan, untuk memberi penegasan bahwa para syabab HT itu punya karakter "tidak berilmu" -atau minimal- tidak se-intelek dan setercerahkan beliau -yang mengenyam materi-materi kuliah ilmu politik serta melahap berbagai literatur akademis dalam bidang tersebut (Contohnya seperti ungkapan beliau yang ditujukan kepada para syabab: “menyedihkan”; "tanpa pengetahuan"; "kejahilan"; "pemahaman Hizbut Tahrir ini hanyalah produk dari doktrin yang tak tercerahkan"; "sok tahu"; "Menghujat-hujat demokrasi tanpa pengetahuan memadai, dan mendewa-dewakan khilafah tanpa pengetahuan memadai pula"). Ungkapan-ungkapan tersebut –terlepas dari benar-salahnya- disengaja atau tidak dapat membangkitkan citarasa emosional tertentu bagi pembaca, daripada sekedar bahasa-bahasa akademis yang kaku, yang hanya memberi pengetahuan dan kepahaman minus sentuhan emosi.
Di sini saya tidak hendak menyalahkan atau membenarkan ungkapan-ungkapan tersebut. Sebagai anggota HT, saya menginsyafi sepenuhnya, bahwa tidak semua syabab HT (termasuk saya) memiliki pengetahuan yang luas, apalagi menyamai luasnya pengetahuan yang dimiliki oleh saudara Sigit. Namun, hal itu tidak kemudian menghalangi saya –yang kurang berilmu ini- untuk mencoba memberi tanggapan balik terhadap beliau, meskipun bagi orang sekelas beliau, barangkali tidak ada hal baru yang bisa didapat dari orang sok tahu seperti saya.
Sebelum saya memulainya, perlu saya tegaskan bahwa tanggapan ini bukan saya buat dalam rangka membantah lontaran Saudara Sigit, bahwa Syabab HT itu "tidak punya ilmu tapi sok tahu", sebab saya tidak ingin mempersoalkannya. Saya hanya ingin membahas substansi masalah, yaitu soal demokrasi itu sendiri, dan mencoba agar pembahasan saya nanti akan steril dari ungkapan-ungkapan propokatif yang justru akan mengusik sisi-sisi emosi, yang pada gilirannya akan mengundang tanggapan-tanggapan yang bias, liar, remeh dan kurang berkualitas. Tanggapan pertama ini saya beri judul "Halal-haram (Hukum Syara') Dalam Kubangan Sistem Demokrasi". Wa biLlaahit Taufiiq. ***



Halal-haram (Hukum Syara’) Dalam Kubangan Sistem Demokrasi


“Demokrasi, bukanlah agama yang berbicara tentang halal dan haram. Demokrasi adalah konsep politik yang hanya bicara soal legal dan tidak legal. Untuk itulah dalam bahasa Anis Matta, diperlukan usaha agar yang ‘halal’ dalam agama menjadi legal dalam pandangan hukum postitif, dan apa yang ‘haram’ dalam pandangan agama menjadi tidak legal pula dalam pandangan hukum positif itu. Jika hal ini tercapai maka sebetulnya produk hukum yang dihasilkan oleh demokrasi justru mencerminkan berlakunya kedaulatan Tuhan dalam kehidupan bernegara…”

Demikianlah apa yang terlulis dalam sebuah catatan seorang intelektual muda yang percaya bahwa sistem demokrasi bukanlah sesuatu yang layak untuk dipertentangkan dengan Islam. Beliau berpandangan demikian kurang-lebih karena alasan berikut :

Keputusan formal yang dilahirkan dan diberlakukan sebagai hukum positif oleh sistem demokrasi tidak bisa disetarakan dengan hukum halal-haram yang menjadi domain agama. Sebab, demokrasi tidak memberi wewenang bagi negara untuk menentukan halal dan haram -yang merupakan urusan Tuhan. Negara sekedar menentukan mana yang legal dan mana yang tidak legal. Ketika proses politik dalam sistem demokrasi menghasilkan produk hukum atau keputusan yang berbeda dengan syara’, bukan berarti sistem demokrasi menghalalkan apa yang telah diharamkan oleh Allah atau mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah. Jadi, demokrasi sama sekali tidak menyentuh wilayah yang menjadi wewenang Tuhan, dan juga tidak menganulir hukum-hukum yang berlaku dalam agama. Yang halal tetap halal meskipun tidak legal, dan yang haram tetap haram meskipun dilegalkan oleh negara. Dari sinilah kemudian beliau berkesimpulan bahwa demokrasi akan sejalan dengan “kedaulatan tuhan” jika saja proses politik yang terjadi dalam sistem tersebut menghasilkan keputusan hukum yang cocok dengan ketentuan halal-haram dalam agama. Maka adalah penting untuk berjuang dalam kancah sistem demokrasi agar yang dihalalkan Allah menjadi legal dan yang diharamkan oleh Allah menjadi tidak legal…. Begitulah kira-kira jika saya membahasakan ulang apa yang ingin diungkapkan oleh intelektual muda kita ini.

Antara Halal-haram dengan Legal-ilegal
Berdasarkan apa yang bisa kita pahami dari penjelasan pemikir muda kita tadi, sebenarnya dapat ditarik kesimpulan bahwa demokrasi merupakan suatu sistem politik yang tidak menjamin keselarasan antara halal-haram dengan legal-ilegal, kedua kategori ini tidak harus selalu pararel. Dengan begitu, jika proses politik menghasilkan keputusan hukum yang tidak sejalan dengan hukum Allah, bahkan yang qoth’i sekalipun, maka ia harus diterima secaralegowo sebagai sebuah keputusan politik dalam sistem demokrasi, meski bisa jadi kita secara pribadi tidak menyetujuinya.

Sebagai contoh, seandainya rakyat menuntut negara untuk membolehkan berdirinya bank-bank ribawi dan membangun sendi-sendi ekonominya dengan riba, maka pemerintah harus tunduk pada kehendak rakyatnya, meskipun diriwayatkan bahwa Rasulullah saw menyatakan “apabila zina dan riba telah tampak nyata di sebuah negeri, maka sungguh mereka telah menghalalkan adzab Allah untuk diri mereka“[1]. Contoh lain, seandainya rakyat –melalui saluran politik yang ada- menghendaki agar diperbolehkan untuk tetap memakai busana adat atau menampilkan berbagai kesenian rakyat, meski di sana ada unsur ikhtilath dan buka-bukaan aurat, maka pemerintah tidak berhak untuk melarang itu semua, meskipun Allah jelas-jelas melarangnya (itulah mengapa UU pornografi-pornoaksi tidak gol). Contoh lain, kesetaraan hak-kewajiban warga negara di depan hukum merupakan suatu nilai yang tidak bisa dicabut dalam sistem demokrasi, sehingga seandainya aspirasi masyarakat menghendaki pengabaian penarikan jizyah dari non-muslim, maka pemerintah pun tidak boleh secara “semena-mena” menarik jizyah dari non-muslim, meskipun Allah mewajibkan kepada penguasa untuk menarik jizyah tersebut (Lihat Surat At Taubah ayat 29). Contoh lain, kebebasan beragama adalah nilai mutlak yang harus terinstall dalam sistem demokrasi, sehingga seandainya aspirasi yang ada menghendaki agar masyarakat boleh pindah dari/ke agama mana saja, maka pemerintah tidak boleh menghukum seorang muslim yang meninggalkan agamanya, meskipun diriwayatkan bahwa Rasulullaah saw bersabda “barang siapa mengganti agamanya maka bunuhlah ia“[2]. Semua itu ada dalam realitas kehidupan kita –di alam demokrasi ini-, dan sulit menghitung contoh-contoh lain yang bisa kita ajukan.

Memang, semua itu mungkin tidak sejalan dengan hukum Allah, tetapi juga bukan merupakan suatu penyimpangan dalam sistem demokrasi. Itu adalah suatu hal yang wajar, karena dalam sistem ini, yang halal tidak otomatis legal, dan yang haram juga tidak otomatis dilarang (secara hukum). Dan seorang pemimpin dalam sistem demokrasi wajib menjalankan aspirasi rakyat yang telah menjadi keputusan sistem, meski jelas bertentangan dengan syara’, dan meski hati-nuraninya tidak menyetujui.

Hal di atas merupakan konsekuensi langsung dari faham kedaulatan[3]rakyat[4], yang berarti: pemerintah harus tunduk kepada kehendak rakyat, rakyat memiliki kekuasaan tertinggi dan mutlak –meminjam istilah tokoh kita tadi- dalam menentukan mana yang legal dan mana yang tidak legal.

Hal tersebut akan sangat aneh jika kita bandingkan dengan fungsi dan tugas negara dalam islam untuk menerapkan agama dan menjaga agama dengan menindak setiap pelanggaran terhadap agama, sebagaimana diutarakan oleh para ulama. Ibnu Kholdun dalam Muqoddimahnya mengatakan: “ Pada hakekatnya dia (khilafah) merupakan wakil dari pemilik syari’at (Shohibusy Asy Syar’i) dalam menjaga agama dan mengatur urusan dunia dengan agama tersebut.[5] Ibnu Taimiyyah menyatakan: Amar ma’ruf nahi munkar tidak bisa sempurna kecuali dengan penegakkan sanksi-sanksi syariat, sebab Allah mencegah dengan kekuasaan terhadap hal-hal yang tidak bisa dicegah dengan Al Qur’an. Menegakkan sanksi-sanksi hudud wajib bagi pemerintah, itu dilakukan dengan menerapkan hukuman ketika ada yang meninggalkan kewajiban maupun melaksanakan keharaman[6]. Imam Al Ghozali mengatakan: “agama adalah asas sedangkan kekuasaan adalah penjaga, apa yang tidak memiliki asas akan runtuh dan apa yang tidak memiliki penjaga akan lenyap”[7]. Jadi sangat aneh, jika Islam mentolelir sistem politik yang tidak mewajibkan penguasanya untuk melegalkan yang halal dan meng-ilegalkan yang haram, seperti demokrasi.

Demokrasi Bisa Berujung Pada Kedaulatan Tuhan?
Benar, hukum positif dalam demokrasi memang tidak selalu bertentangan dengan syara’. Terbuka peluang dalam sistem demokrasi bagi dihasilkannya keputusan hukum yang sejalan dengan hukum Allah. Misalnya, negara melarang peredaran daging babi dan menghukum siapa saja yang mengedarkannya, kemudian masyarakat luas pun mentaatinya. Di sini seolah-olah hukum syara’ berdaulat. Padahal tidak. Sebab,di samping hal tersebut sekedar suatu kejadian kasuistik, lebih dari itu, negara hanya akan berani mengambil keputusan tersebut jika arus aspirasi yang ada menghendaki demikian. Ini menunjukkan bahwa negara demokrasi selalu menjadikan kehendak manusia sebagai faktor penentu bagi keputusan negara. Sebab, ketundukan negara itu tetap tertuju kepada manusia, bukan kepada syara’ itu sendiri. Maka pada hakekatnya, negara demokrasi tetap “menghamba” kepada rakyat, tidak tunduk kepada Syariat., rakyatlah yang memegang kunci, bukan syara’; rakyatlah yang dianggap oleh negara sebagai pemegang supremasi hukum tertinggi, bukan syara’; rakyatlah yang dianggap oleh negara sebagai pemilik kehendak yang absolut, bukan syara’; rakyatlah yang dianggap oleh negara sebagai pemilik kekuasaan orisinil yang tidak tersandar kepada pihak manapun, bukan syara’; singkatnya, rakyatlah yang tetap dianggap berdaulat, bukan syara’.

Hukum syara’ di dalam sistem demokrasi, jika ada yang menyuarakannya, paling jauh hanya akan dipandang sebagai suatu bentuk aspirasi yang tidak mengikat dengan sendirinya. Jika aspirasi itu lemah, maka tidak akan dihiraukan; jika aspirasi kuat, baru diperhatikan. Begitulah, negara yang menganut sistem demokrasi akan meletakkan rakyat pada posisi yang tertinggi, bahkan lebih tinggi dari pada syara’. Karenanya, negara harus tunduk kepada rakyat, dan apa yang sejalan dengan syara’ hanya bisa diterapkan jika dikehendaki oleh rakyat (dalam hal ini adalah wakilnya). Itu merupakan kenyataan yang tidak bisa dibantah, dan tidak perlu bertele-tele dengan literatur akademis untuk menjelaskan kenyataan yang begitu gamblang ini[8].

Demikianlah, dalam tataran filosofis, sistem demokrasi memberikan kedaulatan kepada rakyat. Jelas, hal tersebut bertentangan dengan konsep sistem pemerintahan dalam Islam. Sebagai konsekuensi dari falsafah kedaulatan rakyat, dalam tataran praktis, munculah hukum-hukum positif yang tidak sesuai dengan syariat (meskipun kadang, ada juga yang kebetulan sesuai dengan syari’at). Kenyataan itu terjadi bukan karena sistem demokrasi tidak berjalan secara normal (menyimpang dari prosedur), tapi lebih disebabkan karena konsep dasarnya yang bathil, tidak dirancang untuk selalu selaras dengan Islam. Akibatnya, ketika sistem ini berjalan dengan baik, ia bukan hanya bisa menghasilkan keputusan yang sesuai dengan islam, tapi juga –kenyataannya- lebih banyak dan lebih sering menelurkan produk hukum yang tidak sesuai dengan Islam.

Karena hal di atas, sistem demokrasi tidak bisa diharapkan untuk diterapkan dalam sebuah negara yang ingin mengaplikasikan Islam secara sempurnya. Jika diibaratkan mesin, tatkala dalam kondisi yang baik dan dijalankan dengan prosedur yang benar, sistem demokrasi lebih sering menghasilkan produk gagal daripada produk yang kita kehendaki. Kesalahan bukan terjadi dalam menjalankan prosedur operasional mesin, tapi kesalahan terjadi saat memilih mesin –yang tidak cocok dengan produk yang ingin dihasilkan. Artinya, kesalahan tidak terjadi pada saat kita menjalankan demokrasi, tapi justru terjadi ketika kita memilih demokrasi untuk selalu menghasilkan kebijakan yang syar’i, padahal demokrasi tidak didesain untuk itu.

Negara Dalam Islam Dirancang Untuk Selalu Tunduk Kepada Syara’
Tidak seperti demokrasi, negara yang menganut Sistem Islam akan menempatkan syara’ sebagai pemegang kedaulatan, sehingga –secara konstitusional- seluruh kebijakan negara harus didasari pada hukum syara’[9]. Hal ini berarti, syara’ bukan dipandang sekedar sebagai aspirasi, akan tetapi syara’ adalah ketentuan yang mengikat penyelengaaraan negara. Sehingga, ibarat mesin, sistem pemerintahan Islam adalah sistem yang didesain untuk selalu menghasilkan kebijakan dan hukum yang Islami (syar’i), tidak seperti layaknya demokrasi.

Dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah adanya kewajiban penguasa untuk selalu mengeluarkan keputusan atas dasar hukum syara’ dan tidak mengikuti aspirasi siapapun yang menyimpang dari hukum-hukum syara’. Jika penguasa menyimpang dari ketentuan pokok ini, maka dia bukan hanya menyalahi hukum syara’, tapi juga menyalahi ketentuan dasar (konstitusi) Negara Islam. Allah SWT berfirman:
{فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ}
“Maka hukumilah (perkara) di antara mereka dengan apa yang diturnkan oleh Allah, dan janganlah kalian mengikuti hawa nafsu mereka (untuk berpaling) dari kebenaran yang telah datang kepadam”u (Al Maidah ayat 48)

{وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُصِيبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ}
“Dan hendaklah kamu putuskan (perkara) di antara mereka dengan apa yang diturunkan oleh Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka (sehingga mereka) memalingkan kamu dari sebagian (hukum) yang diturunkan Allah kepadamu. Sehingga jika kalian berpaling maka ketahuilah bahwa Allah tidak berkehendak lain kecuali akan menimpakan (hukuman) karena dosa-dosa kalian. Dan sesungguhnya sebagian besar dari manusia itu benar-benar orang-orang yang fasik” (Al Maidah ayat 49)

Kedua ayat ini memberi perintah tegas kepada Nabi -yang waktu itu berperan sebagai penguasa- untuk memutuskan suatu permasalahan dengan hukum yang diturunkan oleh Allah. Kata uhkum merupakan fi’l amr, dari hakama-yahkumu, yang menurut kamus Al Munawir artinya adalah menetapkan atau memutuskan (qorroro)[10]. Maka dari itu, tidak bisa dikatakan bahwa ayat ini merupakan perintah kepada Nabi saw untuk menjelaskan dan menyatakan secara tegas bahwa yang halal adalah halal dan yang haram adalah haram semata, akan tetapi, ayat di atas justru memberi perintah kepada Rasulullaah saw untuk mengeluarkan keputusan hukum formal sesuai dengan apa yang diturunkan Allah (hukum syara’). Maka dari itu, dalam menjelaskan kalimat “fahkum bainahum bimaa anzalaLlaah” itu, Ibnu Katsir mengatakan : “berilah keputusan hukum wahai muhammad di tengah-tengah manusia, baik Arab maupun non-Arab, baik kalangan yang ummi maupun ahli kitab, dengan apa yang diturunkan oleh Allah“[11]. , Imam Ath Thobari mengatakan: “ini adalah perintah Allah Ta’ala, peringatanNya untuk nabiNya, Muhammad saw, agar beliau memberi keputusan hukum terhadap pihak-pihak yang minta keputusan hukum kepada beliau -dari kalangan ahli kitab dan penganut semua agama yang ada- dengan menggunakan kitab yang Allah turunkan kepada beliau“[12].

Terlebih lagi, sebab turunnya ayat ini terkait dengan pemberian putusan hukum kepada non-muslim, yakni orang yahudi yang melakukan zina dalam keadaan muhshon (telah menikah). Ketika ia dibawa ke hadapan Rasulullah saw, Allah memerintahkan beliau untuk menghukumnya dengan hukum yang turun kepada beliau, yakni rajam[13]. Atas dasar itu, tidak mungkin jika ayat ini dikaitkan dengan masalah penghalalan dan pengharaman, karena Rasulullah saw tidak berkepentingan terhadap urusan halal-haram dalam agama lain. Tapi, sebagai penguasa, beliau berkepentingan untuk menegakkan hukum yang berlaku secara formal kepada seluruh manusia yang hidup dalam yurisdiksi Negara Islam. Dalam konteks inilah, Allah memerintahkan beliau untuk memberi keputusan hukum berdasarkan syari’ah Islam.

Perintah tersebut, meskipun tertuju kepada Nabi saw, namun juga berlaku kepada seluruh penguasa muslim, sebagaimana dikatakan oleh Al Qurthubi “annal khithoba liNabi ‘alaihis salam khithobun li-ummatihi[14] (seruan kepada Rasul adalah juga seruan kepada umatnya), tentu selama tidak ada dalil yang mengkhususkan. Jadi, ini adalah ketentuan legeslasi dan penegakkan hukum di dalam Negara Islam yang harus senantiasa terikat dengan hukum yang diturunkan oleh Allah.

Atas dasar itulah, Kepala Negara Islam itu diangkat, didengar dan ditaati atas dasar aqad untuk menegakkan Al Qur’an dan As Sunnah, sebagaimana lafadz baiat Abdullah bin Umar ra kepada Kholifah Abdul Malik bin Marwan : “Sesungguhnya aku mengakui Abdul Malik bin Marwan, Amirul Mu’minin, untuk didengar dan ditaati atas dasar sunatuLlah dan sunah rasulNya, dalam hal yang aku mampu”[15].

Rasulullah juga bersabda: “dengar dan taatilah (imam) sekali pun kalian dipimpin oleh seorang budak habsyi yang kepala seperti zabibah (sejenis anggur) selama ia menegakkan kitabullah di tengah-tengah kalian”[16].

Ad Dumaiji mengatakan: “hadits tersebut secara jelas menunjukkan bahwa mendengar dan taat kepada pemimpin itu disyaratkan ketika sang pemimpin tersebut memimpin rakyatnya dengan Kitabullah. Adapun apabila dia tidak menerapkan syariat Allah kepada mereka, maka tidak ada kepatuhan dan ketatan, dan yang demikian itu mengharuskan pemecatannya. Ini dalam kasus ketika dia berhukum dengan selain apa yang diturunkan Allah karena kefasikan. Adapun apabila itu dilakukan karena kekafiran, maka dia wajib dipecat meski harus dengan peperangan”.[17]

Jadi jelas, kepala Negara Islam itu diangkat untuk menegakkan kitabullah dan sunnah rasul, didengar dan ditaati selama melaksanakan ketentuan tersebut. Jika dia keluar dari ketentuan itu, maka dia sah untuk dima’zulkan. Ini jelas kontras dengan sistem demokrasi, di mana seorang presiden tidak akan diturunkan sekalipun terang-terangan menerapkan kebijakan dan hukum yang tidak diambil dari kitabullah dan sunnah Rasul, selama dia masih mentaati aspirasi rakyat.

Dalam Negara Islam, Aspirasi Yang Tidak Islami Wajib Diabaikan
Adapun perintah untuk tidak mengikuti hawa nafsu manusia dalam kedua ayat tadi yakni:
“janganlah engkau mengikuti hawa nafsu (ahwaa’) mereka agar mereka tidak memalingkan kamu dari kebenaran yang telah datang kepadamu” (TQS Al Maidah 48)
Serta: “ janganlah engkau mengikuti hawa nafsu (ahwaa’) mereka dan berhati-hatilah terhadap mereka agar mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian yang telah diturunkan oleh Allah kepadamu” (TQS Al Maidah 49)

keduanya merupakan peringatan yang jelas bagi Rasulullah dan para penguasa agar tidak mendengar pendapat-pendapat manusia yang menyimpang dari hukum syara’. Ahwaa’ (hawa nafsu) menurut Ibnu Katsir adalah :” pendapat-pendapat yang mereka sepakati yang menyebabkan mereka meninggalkan apa yang diturunkan oleh Allah“[18]. Kemudian, beliau membahasakan potongan ayat tersebut dengan ungkapan : “janganlah engkau berpaling dari kebenaran yang telah diperintahkan oleh Allah kepadamu kepada hawa nafsu orang-orang yang bodoh lagi celaka“[19]. Peringatan ini memberi penegasan terhadap perintah yang pertama, yakni untuk menerapkan hukum Allah semata dan tidak mengikuti aspirasi-aspirasi rakyat yang muncul dari hawa nafsu mereka, yang pada gilirannya akan memalingkan keputusan penguasa dari hukum yang telah diturunkan oleh Allah kepada manusia. Jadi, dalam Negara Islam, aspirasi yang tidak sesuai dengan Islam wajib diabaikan.

Sebagai catatan, meskipun ayat ini dilatarbelakangi oleh sikap Yahudi, akan tetapi ketentuannya berlaku umum, yakni tidak boleh berpaling dari hukum Allah seraya mengikuti kehendak manusia, sebab para ulama mengatakan: “al ‘ibrah bi ‘umuumil lafdzi laa bi khushuusis sabab“[20] (yang diperhitungkan adalah keumuman lafadz, bukan kekhususan sebab).

Kedaulatan Negara Islam di Tangan Syara’
Dari semua itu bisa disimpulkan, bahwa pemilik kedaulatan di dalam sistem Islam itu adalah hukum syara’, bukan rakyat[21]. Karenanya, rakyat dan penguasa diharuskan secara konstitusional untuk selalu tunduk dan terikat kepada syara’. Mungkin sebagian ulama kontemporer ada yang mengungkapkan dengan istilah “kedaulatan Allah”. Tidak ada masalah, karena maknanya sama.

Hanya saja, bagi orang yang tidak cermat mungkin akan mengaitkan ungkapan “kedaulatan Allah” ini dengan selogan laa hukma illaa liLlaah yang didengungkan oleh kelompok Khowarij yang memisahkan diri ke Nahrawan pada masa pemerintahan Kholifah Ali ra. Mereka mengecam proses tahkim (arbitrase) antara pihak Ali –yang diwakili oleh Abu Musa- dengan pihak Mu’awiyah –yang diwakili oleh Amr- (ridhwanullah ‘alaihim). Mereka menyatakan bahwa Ali ra. telah kafir karena beliau telah menunjuk Abu Musa sebagai hakim, sementara satu-satunya hakim adalah Allah. Padahal, “tidak ada hukum kecuali hukum Allah” bukan berarti bahwa Allah harus hadir menjadi hakim di antara manusia secara langsung. Tidak ada satu pun pemilik akal sehat yang mengatakan demikian. Kholifah Ali berkata menanggapi ungkapan mereka itu “kalimatu ‘adlin wa yurodu biha jaur“[22] (kalimat yang haq, yang dimaksudkan untuk suatu yang batil). Maka, beliau mengutus Ibnu Umar ra. untuk beradu argumen dengan mereka.

Laa hukma illaa liLlaah sebenarnya berarti bahwa segala permasalahan hukum itu wajib dikembalikan kepada hukum-hukum yang diturunkan oleh Allah. Yang disebut hukum yang diturunkan Allah itu bukan sekedar nilai-nilai universal yang mengilhami akal manusia –sebagaimana dipahami oleh John Locke-, akan tetapi hukum Allah adalah hukum yang benar-benar diambil dari Al Qur’an dan As Sunnah secara langsung atau melalui proses ijtihad dengan prosedur yang benar seperti yang diuraikan panjang-lebar oleh para ulamaushul. Inilah yang dikenal dengan istilah hukum Syara’ (al Hukmu asy Syar’iy)[23]. Sementara, yang secara langsung menjadi hakim di antara manusia adalah manusia yang punya wewenang untuk menerapkan hukum, yaitu aparat penegak hukum yang diselenggarakan oleh pemerintah, di bawah kepemimpinan seorang Imam/Kholifah. Oleh karena itu, keberadaan imam yang memerintah dan ditaati adalah sine qua non bagi tegaknya hukum Allah di muka bumi, sebagaimana ditegaskan oleh Imam Al Ghozali di dalam Al Iqtishod[24] dan Ibnu Taimiyah di dalam As Siyasah Asy Syar’iyah[25]. Dan kepemimpinan tersebut bersifat manusiawi (basyariy) bukan bersifat ketuhanan (ilahiy)[26].

Tentang Suara Mayoritas
Jurang antara demokrasi dengan Islam terasa lebih lebar lagi ketika kita membahas standard yang digunakan oleh sistem demokrasi untuk mengukur kebenaran. Kebenaran praktis menurut demokrasi adalah suara umumnya masyarakat, yang oleh Rouseau disebut sebagai la volonte generale (general will / kehendak umum)[27] . John Locke, yang oleh para akademisi dianggap sebagai salah satu tokoh utama peletak prinsip dasar demokrasi,[28]menyatakan dalam salah satu magnum-opusnya, Second Treatise : “Jadi setiap orang -dengan membuat perjanjian bersama orang lain untuk membentuk suatu badan politik di bawah satu pemerintahan- bersama orang lain dari masyarakat tersebut, menempatkan dirinya di bawah kewajiban untuk tunduk pada keputusan mayoritas dan diatur olehnya“[29].

Para penganjur demokrasi, seperti Locke, tidak punya pilihan lain untuk mengukur kebenaran kecuali dengan kehendak mayoritas. Sebab, sebagai seorang penganut empirisme, Locke percaya bahwa nilai kebaikan itu bersifat empiris, objektif dan bisa ditangkap oleh semua manusia secara universal, mirip seperti pandangan Mu’tazilah terhadap kategori hasan dan qobih(terpuji dan tercela)[30]. Locke percaya bahwa akal budi manusia layak menjadi hukum karena ia membawa karakter keTuhanan[31]. Lebih dari itu, mereka tidak percaya jika kebaikan itu harus didekte oleh sesuatu yang tidak rasional, seperti klaim-klaim dari otoritas keagamaan. Namun, ketika dalam kenyataannya manusia itu sering kali berbeda pendapat, faham relativisme kebenaran menjadi konsekuensi yang tak terelakkan. Maka, asumsi dasar bahwa kebenaran itu bersifat relatif selalu tidak bisa dilepaskan dari sistem demokrasi. Sehingga, suara terbanyaklah yang menjadi penentu. Itulah mengapa, Ebenstain menyatakan bahwa empirisme rasional -yang berbuntut pada relativisme kebenaran- menjadi kriteria dan dasar psikologis bagi demokrasi.[32]

Sementara itu, Islam mengakui adanya sumber kebenaran yang bersifat absolut dan tidak bisa didongkel dari kedudukannya, dan negara harus tunduk dengan sumber kebenaran yang absolut ini. Dua ayat dari surat Al Maidah tadi jelas menegaskan bahwa al haq itu hanyalah apa yang diturunkan oleh Allah, bahkan, akhir ayat ke 49 dari Al Maidah tadi jelas menyatakan: wa inna katsiiron minannaasi lafaasiquun: “dan sesungguhnya sebagian besar manusia itu benar-benar orang-orang yang fasiq” (TQS Al Maidah 49). Ibnu Katsir mengatakan: “yakni, sebagian besar manusia itu keluar dari ketaatan kepada Tuhan mereka, menyimpang dari al haq, serta menjauhinya“[33]. Jika demikian, lantas bagaimana mungkin suara kebanyakan manusia bisa dijadikan sebagai standar kebenaran? Dan ingat, padahal demokrasi memberi hak kepada seluruh warga untuk bericara, tanpa memandang aqidah dan kepribadian mereka.

Demokrasi Islami dan Mayoritas Muslim, Mungkinkah menghasilkan kedaulatan Syara’?
Mungkin akan ada yang mengatakan bahwa negara yang mayoritas penduduknya muslim akan bisa menjalankan demokrasi secala islami, karena jika sebagian besar warganya muslim, tentu aspirasi masyarakatnya juga tidak akan menyimpang dari Islam. Perkataan ini terbantahkan oleh realitas. Contoh Indonesia, ia adalah negeri yang dipimpin oleh orang islam, warganya juga mayoritas muslim, tapi tidak otomatis hukum dan kebijakan yang diterapkan didasarkan atas Islam. Dan kenyataan itu bukan merupakan kasus penyimpangan terhadap demokrasi.

Mungkin ada yang membantah lagi bahwa di Indonesia terjadi demikian karena mayoritas muslim di sana belum memiliki kepahaman yang baik terhadap Islam. Pernyataan itu bisa dibantah, karena jika demikian, maka sistem Islam itu hanya bisa berlaku penuh di daerah yang hampir 100% muslim, adapun di daerah yang jumlah non-muslimnya cukup banyak, meski tidak mayoritas, akan sulit dibayangkan bisa diterapkan Islam secara keseluruhan. Padahal, pada masa lalu, tidak semua wilayah yang dikuasai Islam itu dihuni oleh mayoritas muslim. Ada wilayah-wilayah taklukkan yang mayoritas penghuninya adalah ahlu dzimmah atau kafir dzimmi. Lantas apakah di wilayah itu penguasa muslim juga harus tunduk kepada kehendak matoritas rakyat dalam berbagai hukum dan kebijakan yang berlaku di sana? Jika demikian, niscaya wilayah itu akan lepas dari kekuasaan Islam.

Sudan adalah tempat kita mengambil pelajaran. Ia adalah suatu negeri yang dikuasai Islam setelah ditaklukkan oleh pasukan Abdullah bin Abi As Sarh pada masa pemerintahan Kholifah Utsman ra[34], kemudian Sudan menjadi bagian dari negara Islam, dan diperintah oleh umat Islam. Akan tetapi, pasca penjajahan Barat, Sudan berdiri sebagai negara sendiri. Negeri ini menghadapi kenyataan bahwa wilayah bagian selatan lebih banyak dihuni oleh orang Kristen dan pagan. Pergolakan politik antara wilayah utara dan selatan pun terjadi. Dengan alasan demokrasi, dan atas desakan Barat, diadakanlah referendum yang menentukan nasib wilayah selatan. Hasilnya, mayoritas rakyat bagian selatan memilih pisah dari pemerintah pusat (utara). Dan kemarin, 9 Juli 2011, Sudan Selatan resmi berdiri sebagai negara baru. Padahal, secara syar’i, kaum muslimin tidak boleh melepaskan wilayah yang menjadi bagian dari kekuasaan mereka, meskipun di dalamnya banyak dihuni oleh non muslim.

Para kholifah dahulu menaklukkan wilayah-wilayah yang masih dihuni non-muslim seperti Syam, Mesir, Maroko, Irak, Iran dan sebagainya, kemudian menyatukan wilayah tersebut ke dalam Islam, dan mempertahankan wilayah itu mati-matian. Itu karena mereka tahu, bahwa negeri yang telah ditaklukkan oleh umat Islam dan dikuasai oleh umat Islam maka ia telah menjadi bagian dari Darul Islam, dan wajib mempertahankannya agar tidak lepas dari pemerintahan Islam[35], seperti halnya kata Imam Ar Rofi’i “Darul Islam tidak disyaratkan harus dihuni oleh umat Islam, akan tetapi yang penting ada di bawah kekuasaan Imam dan Islam”..”.[36] Maka saya tidak bisa membayangkan, apa jadinya jika dahulu para Kholifah menerapkan demokrasi di wilayah-wilayah yang berhasil ditaklukkan oleh kaum muslimin, sehingga pemerintah pusat harus tunduk kepada kehendak penduduk di daerah-daerah tersebut, sekalipun mereka meminta untuk memisahkan diri.

Penutup
Dari apa yang telah kami uraikan, kiranya sangat jelas, ada perbedaan yang begitu kontras dan mendalam antara sistem demokrasi dengan sistem pemerintahan Islam. Kedaulatan rakyat dalam sistem demokrasi memberikan kedudukan teratas kepada manusia dalam menentukan yang legal dan yang tidak legal tanpa terikat oleh ketentuan syara’ secara mutlak. Sehingga dalam kubangan demokrasi, yang halal bisa ilegal sementara yang haram bisa jadi legal. Sementara sistem Islam -yang menganut kedaulatan syara’- mengharuskan penguasa untuk terikat dengan syara’ dalam melakukan legeslasi hukum dan menerapkan kebijakan-kebijakannya, sehingga Kholifah bisa dima’zulkan apabila tidak mengindahkan ketentuan asasi ini. Artinya,tasyrii’ (penentuan hukum halal-haram) yang menjadi domain Allah SWT harus ditindaklanjuti dengan sannul qowanin (legalisasi hukum) yang menjadi domain pemerintahan Islam yang manusiawi itu. Bahkan, dalam kaitannya dengan legeslasi ini, Ibnu Kholdun pun telah mengajari kita untuk membedakan sistem politik yang syar’i dengan yang tidak, ketika beliau mengatakan : apabila undang-undang ini ditentukan dari gagasan kaum pemikir atau pembesar-pembesar negara atau para cerdik-pandai maka ia merupakan sistem politik aqliyah (siyasatan ‘aqliyatan) dan apabila ditentukan dari Allah dengan hukum-hukum yang ditetapkan dan disyariatkan olehNya maka ia merupakan politik diniyah (siyasatan diniyatan) yang akan memberi manfaat bagi kehidupan dunia dan akhirat“[37]. WaLlahu A’lam [titok_14/7/2011]

Catatan kaki

[1] Hadit riwayat Al Hakim, dengan lafadz:إذا ظهر الزنا والربا في قرية فقد أحلوا بأنفسهم عذاب الله

[2] Hadits riwayat Al Bukhori, dengan lafadz : من بدل دينه فاقتلوه

[3] Kedaulatan, siyaadah dalam bahasa Arab, dan sovereignty dalam bahasa Inggris. diartikan oleh Encyclopedia Britanica sebagai the ultimate overseer, or authority, in the decision-making process of the state and in the maintenance of order (penguasa atau pemegang otoritas tertinggi dalam proses pembuatan keputusan dan penegakkan aturan di suatu negara) (http://www.britannica.com/EBchecked/topic/557065/sovereignty).

Sementara Prof. Wahbah Az Zuhaili mendefinisikannya sebagai kekuasaan tertinggi yang tidak ada lagi kekuasaan di atasnya, tidak tunduk kepada siapa pun, posisinya berada di atas semuanya dan menguasainya. Ia juga bermakna kekuasaan yang pokok dan orisinil, dalam arti, tidak diambil dan tidak didapat dari kekuasaan yang lain (Az Zuhaili, W., 2011. Fiqh Islam. GIP, Jakarta. Hal. 421)

Orang yang pertama kali merumuskan konsep kedaulatan secara sistematis adalah Jean Bodin (Prancis, 1530-1596). Dia menyatakan bahwa kedaulatan itu adalah kekuasaan yang absolut dan abadi yang diletakkan padacommonwealth, yang merupakan kekuasaan tertinggi di atas warga negara dan tidak dibatasi oleh hukum. Menurut Bodin, kedaulatan itu memiliki karakter : mutlak, langgeng dan tidak terbagi-bagi. Ia juga mengatakan bahwa atribut pertama dari penguasa yang berdaulat adalah kekuasaan untuk membuat hukum yang mengikat semua rakyatnya secara umum dan secara khusus mengikat setiap orang. Dan dia melaksanakan kekuasaan ini tanpa persetujuan dari siapa pun (Schmandt, H.J., 2002. Filsafat Politik. Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Hal. 282). Dengan pengertian kedaulatan yang seperti ini, maka jelas, syara’ tidak berdaulat dalam demokrasi. Karena ia hanya berlaku jika disetujui oleh rakyat.

[4] Menurut Prof. Akhil Reed Amar, kedaulatan rakyat (people sovereignty) secara historis bermakna suatu mayoritas rakyat memiliki hak yang tidak dapat dicabut untuk mengubah atau menghapus bentuk pemerintahan kapan pun mayoritas itu menghendaki (lihat: Azhari, A.F., 2005. Menemukan Demokrasi. Muhammadiyah University Press, UMS. Surakarta. Hal 31.). Ini jelas bertentangan dengan Islam, karena dalam sistem Islam, Kholifah wajib menolak jika rakyat menghendaki pembubaran sistem Islam.

[5] Abdur Rahman Ibnu Kholdun. 2006. Muqoddimah Ibni Kholdun. Darul Kutubil Ilmiyah, halaman 151.

[6] Ibnu Taimiyah. Tt. Al Hisbah fil Islam au Wadhifatul Hukumatil Islamiyah.Darul Kutubil Ilmiyah, Beirut. Hlm 45

[7] Al Ghozali. 1997. Al Iqtishod fil I’tiqod. Darul Fikr, Beirut. Hlm 168

[8] Lihat penjelasan panjang lebarnya dalam buku karya Prof. Dr. M. Ahmad Ali Mufti, Naqdlul Judzur al fikriyah lid Dimuqrotiyah al Ghorbiyah. 2002.

[9] Dr. Abdul Majid Al Kholidi, Qowaidu Nidhomil Hukmi fil Islam, hlm 364; An Nabhani, Nidhomul Hukmi fil Islam.hlm 105

[10] AL Munawir, bab ha’ – kaf - mim

[11] Ibnu Katsir. Tafsirul Qur’anil Adhim

[12] Ath Thobari. Jami’ul Bayan min Ta’wili Aay Al Qur’an

[13] Lihat, AS Suyuthi, lubabun Nuqul fii asbabin nuzul, dicetak bersamaTafsir Jalalain, Darul Fikr, Beirut

[14] Lihat, Al Qurthubi. Al Jami’ liahkamil Qur’an, tafsir suarat Al An’am ayat 56

[15] Hiriwayatkan oleh Al Bukhori, dengan lafadz:
إِنِّى أُقِرُّ بِالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ لِعَبْدِاللَّهِ عَبْدِالْمَلِكِ أَمِيرِ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى سُنَّةِ اللَّهِ وَسُنَّةِ رَسُولِهِ مَا اسْتَطَعْتُ

[16] Diriwayatkan oleh Al Bukhori,dengan lafadz:
اسمعوا وأطيعوا وإن استعمل عليكم عبد حبشي كأن رأسه زبيبة ما أقام فيكم كتاب الله

[17] Ad Dumaiji, A.tt. Al Imaamah Al ‘Udzmaa ‘Inda Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah. Daru Thoyyibah, Riyadl. Halaman 473. Sebuah Tesis di Univ. Ummul Quraa, Makkah, yang salah satu pembimbingnya adalah As Sayid Saabiq rahimahullaah, tokoh dari Jama’ah Ikhwan.

[18] Ibnu Katsir. Tafsirul Qur’anil Adhim

[19] Ibnu Katsir. Tafsirul Qur’anil Adhim

[20] Prof. Dr. Ali Ash Shobuni. 2003. At Tibyan fi ulumil Qur’an. Darul kutubil Islamiyah, Jakarta. Halaman 29.

[21] Prof. Dr. M. Ahmad Ali Mufti, Naqdlul Judzur al fikriyah lid Dimuqrotiyah al Ghorbiyah. 2002.hlm 38; Dr. Abdul Majid Al kholidi. 1980.Qowaidu Nidhomil Hukmi fil Islam. Darul Buhuts al ‘Ilmiyah, Kuwait. Hal 23; Dr. Sholah Ash Showi. Tt. Nadhoriyatus Siyadah wa atsaruha ‘ala Syar’iyatil Andhimatil Wadl’iyah. Hlm 60. Diunduh dari http://www.assawy.com

[22] Asy Syahrostani. 2007. Al Milal wan Nihal, Juz I. Darul kutubil Ilmiyah, Beirut. Editor: Prof. Ahmad Fahmi Muhammad. Halaman 110

[23] Hukum Syara’, didefinisikan oleh para ahli ushul sebagai khithobusy Syari’ al muta’alliqu bi af’aalil ‘ibaad (seruan pembuat hukum (Allah) yang terkait dengan perbuatan hamba (Lihat: Dr. Samih Athif Az zain, Al Muyassar fii Ushulil Fiqh)

[24] Laa yahshulu nidhomud diin illaa bi imaamin muthoo’. Abu Hamid Al Ghozali. 1997. Al Iqtishod fil I’tiqod. Darul Fikr, Beirut. Halaman 167

[25] Yajibu an yu’rofa anna wilayata amrin nasi min a’dhomi wajibatid dini, bal laa qiyama liddini illa biha (Wajib untuk diketahui, bahwa pemerintahan merupakan kewajiban terbesar di dalam agama, bahkan agama tidak bisa tegak tanpanya), As Siyasah Asy Syar’iyah.Darul Afaqil Jadidah,Beirut. 1983. hlm 138

[26] An Nabhani menyatakan “Daulatul Khilafah daulatun basyariyatun wa laisat daulatan ilahiyatan” (daulah khilafah adalah negara manusiawi, bukan negara yang bersifat ketuhanan). Lihat: Nidhomul Hukmi fil Islam. Hlm. 116

[27] Straus dan Cropsey (Ed). 1987. History of Political philisophy. Ed III. Thr University of Chicago Press, Chicago dan London. Halaman 570. Lihat juga: Azhari, A.F., 2005. Menemukan Demokrasi. Muhammadiyah University Press, UMS. Surakarta. Hal 31

[28] Lihat misalnya Miriam Budiarjo, Dasar-dasar ilmu Politik (hlm 57); Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat (hlm 300); Revitch dan Thernstrom, Demokrasi Klasik dan Modern (hlm 54)

[29] Schmand,Fisafat Politik, halaman344.

[30] Al Ghozali, Al Mustashfa min ilmil Ushul; An Nabhani, Asy Syakhshiyyah juz iii

[31] Ahmad Suhelmi, Pemikiran politik barat, 191

[32] Ahmad Suhelmi, Pemikiran politik barat, hlm 304.

[33] Ibnu Katsir. Tafsirul Qur’anil Adhim

[34] Al Qolqosyandi (w 820 H). tt. Ma’atsirul Inafah fii Ma’alimil Khilafah.Jilid I. Alamul Kutub, Beirut. Hal. 104

[35] Prof. Dr. Wahbah Az Zuhaili. 1998. Atsarul Harb fil Fiqhil Islamy, Dirosah Muqoronah. Cet II. Darul Fikr, Beirut. Halaman 179

[36] Dikutip oleh Prof. Dr. Abdul Karim Zaidan, Ahkamudz Dzimmiyyin wal Musta’minin fi Daril Islam, hal 19.

[37] Abdur Rahman Ibnu Kholdun. 2006. Muqoddimah Ibni Kholdun. Darul Kutubil Ilmiyah, hlm 150

Kamis, 19 Januari 2012

Pandangan Asy Syaukani rahimahullaah Terhadap Masalah Berbilangnya Imam

As-Syawkâni berkata:
“Setelah Islam tersebar, wilayahnya terbentang luas dan masing-masing penjurunya berjauhan, maka harus dimaklumi jika otoritas kepemimpinan di masing-masing kawasannya berubah mempunyai seorang imam atau penguasa, dan di satu atau beberapa kawasan lain juga demikian. Masing-masing tidak berhak menjalankan perintah dan larangan di kawasan yang lain, serta kawasan-kawasan yang berada dalam otoritas kekuasaannya. Oleh karena itu tidak ada masalah jika ada lebih dari satu imam dan penguasa. Bagi penduduk di suatu kawasan wajib mentaati masing-masing di antara mereka, setelah dibai’at; di wilayah itulah semua perintah dan larangnnya wajib dilaksanakan.Demikian juga penduduk kawasan lain. Jika ada orang yang bangkit untuk merebut urusan tersebut di kawasan yang ditetapkan menjadi tempat kekuasaannya, kemudian dia juga telah mendapat bai’at dari penduduk setempat, maka hukumnya adalah wajib dibunuh, jika dia tidak bertaubat. Sementara, bagi penduduk di kawasan lain tidak wajib untuk mentaatinya dan bergabung dengan otoritas kekuasaannya, karena kawasannya berjauhan. Sebab, kadangkala informasi mengenai imam dan penguasanya tidak bisa sampai karena jauhnya jarak dengan kawasan tersebut. Siapa di antara mereka yang masih hidup dan mati pun kadang tidak diketahui. Padahal, perintah taat dalam kondisi seperti ini merupakan perintah untuk melakukan apa yang berada di luar batas kemampuannya. Ini telah dimaklumi oleh setiap orang yang bisa menelaah keadaan manusia dan negeri tersebut. Penduduk Cina dan India, misalnya, mereka tidak mengetahui siapa yang mempunyai otoritas kekuasaan di tanah Maroko, lebih-lebih mereka harus mentaatinya. Demikian pula sebaliknya. Begitu juga penduduk kawasan Wara’ an-Nahr, juga tidak akan mengetahui orang yang mempunyai otoritas kekuasaan di Yaman. Dan, sebaliknya. Ketahuilah, bahwa hal ini relevan dengan kaidah syara’ dan sesuai dengan apa yang ditunjukkan oleh sejumlah dalil. Biarkanlah pendapat lain dikemukakan. Sebab, perbedaan antara apa yang ada pada otoritas kekuasan Islam di era permulaan Islam dan kondisi sekarang jauh lebih jelas, ketimbang sinar matahari. Siapa saja yang mengingkarinya sebenarnya merupakan orang yang tumpul, yang tak layak diseru dengan hujjah. Sebab, dia tidak akan memahaminya“.[1]

Inilah redaksi yang dikemukakan oleh as-Syawkâni. Di situ beliau mengemukakan pandangannya seputar unifikasi negeri-negeri Islam seiring dengan kesatuan Khalifah atau imam. Pandangan ini telah diadopsi dan dikutip seperti apa adanya oleh Shiddîq bin Hasan al-Qanûji al-Bukhâri dalam kitab, ar-Rawdh an-Nadiyyah. Hanya saja, di akhir redaksinya, beliau tambahkan dengan: wallâha al-musta’ân (hanya kepada Allah tempat meminta pertolongan).[2]
Redaksi tersebut sangat gamblang, sebagaimana yang ditunjukkan. Hanya saja, sebelum kami mendiskusikannnya, kami ingin membatasi poin-poin utama pemikiran yang ditunjukkannya, supaya diskusi tersebut hanya berkisar mengenai persoalan tertentu. Pemikiran yang dinyatakan dalam teks tersebut adalah:
1- Ada perbedaan antara apa yang ada pada wilayah kekuasaan di zaman permulaan Islam dengan apa yang ada sekarang. Maksudnya, pada zaman as-Syawkâni. Sebelum mengemukakan redaksi ini, beliau telah mengemukakan apa yang dikemukakan oleh para fuqaha’, bahwa kesatuan Khilafah hukumnya wajib, dan bahwa hukuman bagi orang yang merebut kekuasaan adalah dibunuh, jika dia tidak bertaubat. Demikian juga beliau telah mengemukakan tentang ketidakbolehan penyerahan Khilafah kepada dua orang. Dengan demikian, sebenarnya beliau juga sepakat dengan apa yang dikemukakan oleh kalangan Jumhur, khususnya menyangkut otoritas kekuasaan di zaman permulaan Islam. Beliau pun telah menetapkannya dengan tiga abad pertama. [3]
2- Diperbolehkannya ada banyak imam dan penguasa setelah Islam tersebar, dan wilayahnya terbentang luas, dengan berbagai penjuru yang saling berjauhan.
3- Bagi penduduk setiap kawasan wajib mentaati imam yang sah secara syar’i, sebagai pemegang otoritas kekuasaan di kawasan itu saja, berdasarkan bai’at mereka kepada imam tersebut. Sementara penduduk kawasan lain tidak diwajibkan untuk mentaati imam kawasan lain tersebut.
4- Jika imam satu kawasan melakukan usaha menggabungkan wilayah Islam lain dengan wilayahnya, maka aktivitas tersebut dianggap sebagai penyerangan terhadap para pemilik kawasan lain, sekaligus merupakan perebutan kekuasaan yang telah ditetapkan berdasarkan bai’at kepadanya di kawasan yang diserang tadi. Dalam kondisi seperti ini, maka hukum imam yang berusaha menyatukan kawasan-kawasan Islam lain dengan kekuatan, kemudian menggabungkannya di bawah kekuasaannya tanpa kerelaan dari para penguasa dan penduduk kawasan tersebut; status hukum bagi orang tersebut adalah dibunuh, jika dia tidak bertaubat.
5- ‘Illat (alasan hukum) diperbolehkannya ada banyak imam di kawasan Islam sebagaimana yang ditunjukkan setelah tiga abad pertama, karena kawasan-kawasan Islam tersebut satu sama lain saling berjauhan, sebagaimana jauhnya jarak Cina dengan Maroko, dimana informasi yang berkaitan dengan imam tersebut, baik yang telah meninggal maupun yang tengah menjalankan kekuasaan, tidak akan sampai ke kawasan yang berjauhan. Berangkat dari sana, maka perintah kepada wilayah yang jauh, misalnya, agar mentaati imam baru yang telah mengambilalih kekuasaan, sementara mereka tidak mengetahui otoritas kekuasan baru yang mendapatkan kekuasaan, tidak lain –-bagi mereka—merupakan perintah untuk mentaati sesuatu yang tidak diketahui (majhûl). Padahal, perintah kepada sesuatu yang majhûl merupakan perintah terhadap sesuatu yang berada di luar batas kemampuan. Sementara perintah di luar batas kemampuan itu telah dicabut dari umat, sebagaimana yang dikemukakan oleh ulama’ ushul fiqih,[4] sebagai implementasi dari nash syara’:

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. (TQS. al-Baqarah [2]: 286)

Bertolak dari pencabutan taklîf terhadap sesuatu yang majhûl, maka ditetapkan bahwa penduduk kawasan yang jauh pada dasarnya tidak terkena taklîf untuk mentaati imam yang jauh itu, sebab bagi mereka statusnya jelas majhûl. Tatkala kepemimpinan itu wajib bagi kaum Muslim, dan adanya bai’at di atas pundak setiap Muslim itu hukumnya fardhu, maka penduduk kawasan yang jauh tadi wajib untuk membai’at imam yang secara independen khusus mengatur urusan mereka. Kemudian, mereka memberikan ketaatan kepadanya sebagai implementasi atas wajibnya kepemimpinan bagi mereka, serta implementasi atas kewajiban adanya bai’at di atas pundak setiap kaum Muslim. Dengan demikian, realitas dunia Islam yang terdiri dari berbagai penjuru itu seakan-akan mengharuskan adanya banyaknya imam.
Selain itu, kaidah syara’ telah mengakui pandangan ini sebagaimana yang telah kami jelaskan.
Inilah yang bisa kami kemukakan mengenai alasan as-Syawkâni terhadap pendapat yang memperbolehkan adanya banyaknya imam, yang implikasinya akan melahirkan banyak negara Islam di dunia Islam.

Mendiskusikan Pandangan Asy Syaukaniy
Kini, kita memasuki tahap mengkritisi berbagai pemikiran as-Syawkâni yang baru saja disebutkan, yang memang layak untuk dikritik. Barangkali ide yang terakhir, yaitu ‘illat (alasan hukum) diperbolehkannya berpendapat tentang adanya banyak imam, merupakan gagasan terpenting yang harus dikritisi. Sebab, berangkat dari sinilah pandangan mengenai diperbolehkannya banyak imam itu lahir, serta menurunkan pandangan tentang banyaknya negara dalam dunia Islam, serta pemikiran-pemikiran yang menjadi konsekuensi dari pemikiran tersebut.
Kita akan mengkritisi dari banyak sisi, ‘illat yang menjadi pijakan pendapat yang membolehkan adanya banyak imam.
a- Memang benar, bahwa perintah terhadap sesuatu yang berada di luar kemampuan telah dicabut dalam syariat Islam, namun menurunkan kaidah ushul ini pada topik pembahasan yang tengah kita kaji tentu tidak pada tempatnya. Alasannya, karena kaum Muslim terkena taklîf agar mentaati imam dalam segala hal yang sampai kepada mereka, bukan dalam hal-hal yang tidak sampai kepada mereka, meski jelas bersumber dari imam. Dari sinilah, maka penduduk kawasan Islam yang berjauhan hanya terkena taklîf untuk mentaati imam dalam hal-hal yang sampai kepada mereka, baik berupa informasi tentang imam, perintah maupun larangannya. Sebab, di antara syarat taklîf adalah mengerti akan informasi yang berkaitan dengan taklîf-nya.[5]
Karenanya, taklîf hanya berkaitan dengan perkara yang diketahui. Perintah dan hukum yang dikeluarkan oleh imam, tidak lain merupakan taklîf terhadap perkara yang terjangkau, dan sama sekali bukannya taklîf terhadap perkara yang berada di luar kemampuannya. Seandainya seorang imam telah mengeluarkan 1000 rancangan baru kepada umat, namun hanya sedikit dari rancangan tersebut yang diketahui oleh penduduk kawasan yang jauh, maka secara syar’i mereka tidak terkena taklîf kecuali terhadap sedikit rancangan yang telah mereka ketahui. Kalau mereka sama sekali tidak mengetahui apapun, maka mereka pun tidak terkena taklîf apapun, kecuali terhadap hal-hal yang sebelumnya telah disampaikan kepada mereka, hingga mereka mengetahui hal-hal baru yang berbeda dengan sebelumnya. Kini, mari kita bertanya, di manakah taklîf dalam perkara yang berada di luar kemampuan (jangkauan)-nya dalam kasus ini?
b- Ketika seorang imam telah pergi, kemudian datang imam baru, maka begitu imam baru dengan bai’at yang sah tersebut datang berarti bai’atnya telah mengikat leher setiap Muslim di seluruh dunia Islam. Tidak ada syarat agar bai’atnya mengikat leher seorang Muslim ini ataupun itu, maka masing-masing di antara mereka harus membai’at sendiri, atau mengerti akan bai’at tersebut begitu hal tersebut terjadi.[6] Ini jelas terlihat dari fakta pembai’atan para Khalifah pada zaman sahabat. Ketika Khalifah telah meninggal atau terbunuh sementara tentara kaum Muslim sibuk di medan perang berhadapan dengan musuh di wilayah yang jauh, sementara kematian Khalifah sebelumnya dan pengangkatan Khalifah berikutnya belum sampai kepada mereka, kecuali setelah tenggat waktu —yang kadang lama atau sebentar, sesuai dengan kondisinya— dan kadang ada sejumlah kaum Muslim yang gugur sebagai syahid di medan perang tersebut setelah meninggalnya Khalifah, sedangkan informasi tentang orang yang menggantikannya belum sampai kepada mereka. Semua ini pernah terjadi pada zaman sahabat, dan tidak seorang pun di antara mereka ada yang berpendapat, bahwa siapa saja yang telah gugur sebagai syahid dalam tenggat waktu tersebut, maka dia layak disebut mati, sementara di atas pundaknya belum ada bai’at, dengan demikian dia mati dalam keadaan jahiliyah. Na’ûdzu billâh! Dengan dalih, karena pundaknya telah kehilangan bai’at terhadap Khalifah yang telah meninggal dunia, sementara mereka tidak sibuk melakukan bai’at terhadap Khalifah baru, karena tidak tahu akan adanya Khalifah baru. Saya tegaskan, bahwa tidak seorang sahabat pun yang pernah mengatakan demikian. Pengakuan mereka terhadap realitas seperti ini juga menunjukkan adanya ijma’ mereka bahwa kaum Muslim di wilayah yang jauh, baik sebagai pasukan perang ataupun penduduk setempat, tidak terkena taklîf untuk mengetahui imam mereka yang baru, kecuali ketika beritanya sampai kepada mereka. Dan kebalikan dari realitas ini justru merupakan objek dimana kaidah: taklîf dicabut terhadap sesuatu yang berada di luar kemampuan, itu bisa diaplikasikan.
c- Penduduk kawasan yang jauh tetap layak melakukan ketaatan kepada Khalifah, betapapun jauhnya jarak antara mereka, meski mereka juga tidak mengetahui informasi apapun tentang imam tersebut. Caranya, dengan mentaati amir yang telah diangkat oleh Khalifah, atau ditetapkan untuk memimpin mereka serta mendapat mandat untuk mengatur urusan mereka. Hal itu terlihat dengan jelas berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abû Hurayrah dari Nabi saw bahwa beliau telah bersabda:

Siapa saja yang mentaatiku, maka dia benar-benar telah mentaati Allah, dan siapa saja yang telah melakukan maksiat terhadapku, maka dia benar-benar telah melakukan maksiat terhadap Allah. Dan, siapa saja yang mentaati seorang amirku, maka dia benar-benar telah mentaatiku, dan siapa saja yang telah melakukan maksiat terhadap amirku, maka dia benar-benar telah melakukan maksiat terhadapku.[7]

Karena itu, tidak bisa dikatakan bahwa mentaati Khalifah itu merupakan sesuatu yang sulit, ketika jaraknya jauh, sementara ketaatan kepadanya hukumnya fardhu; maka kalau begitu harus dilakukan pengangkatan Khalifah lain yang jaraknya dekat, sehingga ketaatan kepadanya bisa dilaksanakan. Tentu, pernyataan seperti ini tidak bisa diterima, sebab mentaati amirnya imam (Khalifah) itu sama dengan mentaati imam itu sendiri. Dalam kondisi seperti ini, ketaatan kepadanya bukanlah sesuatu yang sulit. Dan, karenanya tidak bisa digunakan untuk membangun pandangan mengenai perlunya mengangkat Khalifah lain yang jaraknya dekat supaya ketaatan kepadanya bisa diwujudkan. Namun, jika terjadi, dimana ada suatu kawasan yang jaraknya jauh, kemudian karena faktor tertentu kawasan tersebut vakum dari amirnya imam, maka penduduk kawasan tersebut wajib dipimpin oleh salah seorang di antara mereka, sebagai implementasi atas kewajiban mengangkat pemimpin, yang dinyatakan dalam nash-nash yang telah disebutkan dalam pembahasan sebelumnya: Sebab, tidak boleh membiarkan kaum Muslim begitu saja tanpa ada orang yang mengatur urusan mereka. [8] Amir yang disepakati inilah yang wajib ditaati, sebagaimana amir yang telah diangkat oleh imam, dengan adanya pengakuan atau pergantian yang dilakukan oleh imam. Bahkan, mentaatinya dianggap sebagai mentaati imam itu sendiri, meski pengakuan akan kepemimpinannya atau pengangkatan orang lain untuk menggantikannya itu belum dikeluarkan oleh imam. Fakta ini relevan dengan kandungan hadits Muslim, yang telah diriwayatkan oleh Abû Hurayrah dari Nabi saw:

Dan, siapa saja yang mentaati seorang amir, maka dia benar-benar telah mentaatiku, dan siapa saja yang telah melakukan maksiat terhadap amir, maka dia benar-benar telah melakukan maksiat terhadapku.[9]

Kata amir dalam nash tersebut bisa berlaku untuk orang yang telah diangkat oleh imam, juga bisa berlaku untuk amir sementara yang disepakati oleh khalayak, sampai imam mengakui atau menggantinya. Nash ini menyatakan ketaatan kepada amir ini juga merupakan ketaatan kepada imam itu sendiri. Lalu, apakah setelah semuanya ini masih bisa dikatakan bahwa perintah terhadap kaum Muslim di wilayah yang jauh agar mentaati imam merupakan taklîf terhadap sesuatu yang berada di luar kemampuannya?
Inilah yang kami pandang perlu dalam mengkritisi asas yang menjadi pijakan lahirnya pandangan yang membolehkan adanya banyak imam, yaitu alasan bahwa status taklîf untuk mentaati imam di kawasan yang jauh merupakan taklîf terhadap sesuatu yang berada di luar kemampuan. Kami berpendapat, bahwa penerapan kaidah tersebut tidak sesuai dengan fakta empiris dan fakta syar’i. Karena itu, pandangan yang menyatakan diperbolehkannya ada banyak imam jelas tidak bisa diterima, karena ketidakabsahan asas yang menjadi pijakannya. Maka, pandangan yang benar adalah pandangan yang telah dikemukakan oleh an-Nawawi, sebagaimana pernyataan beliau:

Para ulama’ telah sepakat, bahwa tidak diperbolehkan dua orang Khalifah diangkat pada waktu yang bersamaan, baik negeri Islam tersebut telah berkembang luas ataupun tidak…[10]

Sebelum kami meninggalkan pendapat as-Syawkâni yang telah kami kemukakan dan telah kami kritik, terpaksa kami harus kemukakan pengaruh psikologis yang diwariskannya di tanah Islam saat ini. Maksud saya adalah yang berkaitan dengan seruan penduduk setiap kawasan agar mentaati amir kawasan mereka saja, serta pernyataan bahwa setiap amir yang berusaha untuk menyatukan negeri tersebut dengan kekuatan fisik sebagai agresor yang berusaha merebut kekuasan pihak lain yang sah, sehingga hukumnya harus dibunuh. Demikian juga kami harus bersikap adil terhadap as-Syawkâni, serta mencegah agar pandangan yang diisyaratkannya tidak dieksploitasi untuk mengukuhkan fakta pembagian wilayah sebagaimana yang kita alami pada zaman kita sekarang.
Karenanya, kami harus katakan bahwa pendapat as-Syawkâni ini barangkali bisa menyerang sense of Islam sebagian besar kaum Muslim, yang menancapkan perasaan unifikasi dengan kuat; perasaan yang hingga kini masih terjaga, dimana Anda bisa menyaksikan dunia Islam — yang telah dipecah belah oleh imperialis menjadi banyak negara kecil— itu benar-benar akan dikembalikan oleh kaum Muslim yang telah merdeka menjadi beberapa wilayah dalam sebuah negara, yang akan diperintah oleh kepala negara dari seluruh wilayah Islam yang telah disatukan, yakni Khalifah kaum Muslim.
Demikian juga hingga kini masih terjaga, sebagaimana Anda bisa menyaksikan umat Islam yang telah dikerat-kerat oleh imperialis menjadi sejumlah bangsa, besar dan kecil, ada yang saling tidak mengenal dan ada yang saling kenal. Semua itu dilebur oleh kaum Muslim yang telah merdeka dalam sebuah wadah umat Islam. Di sanalah mereka akan menjadi satu rakyat yang bernaung di bawah satu negara, yang mengusung apa yang saat ini dikenal dengan istilah satu kewarganegaraan.
Saya tegaskan, barangkali pandangan as-Syawkâni di atas memang bisa menyerang sense of Islam, sebagaimana yang telah kami kemukakan. Namun, menjadi bagian dari sikap yang adil, jika kami harus mengatakan bahwa as-Syawkâni sebenarnya tidak mengakui adanya banyak imam, kecuali sebatas apa yang disebutnya karena faktor jauhnya jarak kawasan Islam; yang barangkali bisa diwakili dengan pernyataan beliau:

Penduduk Cina dan India, misalnya, mereka tidak mengetahui siapa yang mempunyai otoritas kekuasaan di tanah Maroko.[11]

Jika demikian, sebenarnya as-Syawkâni tidak mengakui realitas perpecahan yang kita alami saat ini, namun beliau hanya mengakui faktor jauhnya jarak antar kawasan yang berjauhan, sebagaimana yang telah kami paparkan. Yang menjadi ‘illat (alasan) dalam pengakuan ini tentu sesuai dengan ijtihad beliau, adalah faktor keterputusan informasi dari imam untuk sampai ke kawasan-kawasan yang jaraknya berjauhan, sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya. Dan berdasarkan kaidah usul yang menyatakan:

Hukum itu berjalan mengikuti ‘illat-nya; ada dan tidaknya.[12]

Kami berpendapat, bahwa pandangan as-Syawkâni tersebut tidak bisa menjadi justifikasi syara’ —sebagaimana ijtihad beliau— terhadap fakta perpecahan yang dialami oleh dunia Islam saat ini. Bahkan, beliau juga tidak pernah mengakuinya, apapun alasannya. Karena ‘illat yang digunakan untuk mengakui fakta dalam ijtihad as-Syawkâni itu telah hilang ketika berbagai sarana komunikasi modern saat ini bisa menyampaikan informasi seputar imam tadi ke seluruh kawasan di dunia Islam, bahkan secara audio visual atau siaran langsung. Maka kami kemukakan, bahwa ijtihad as-Syawkâni dan pengikutnya, Shiddîq Hasan al-Qanûji serta pendahulu mereka, Imam al-Haramayn; sekali lagi kami tegaskan, bahwa ijtihad imam-imam ini sebenarnya tetap menyepakati konsep kesatuan Khilafah Islam yang telah dikemukakan oleh jumhur ulama’, serta unifikasi negara Islam sebagai implikasi dari pandangan tersebut, seiring dengan hilangnya ‘illat yang menjadi pijakan para penggagas pembagian otoritas kekuasan dan kebolehan adanya banyak imam, karena anugerah zaman modern yang memberikan kemajuan sarana komunikasi, dan sekaligus telah menghilangkan ‘illat tersebut. Demikianlah, pandangan fiqih Islam di atas kembali menyepakati —meski dengan ragam ijtihadnya yang mu’tabar— wajibnya kesatuan Khilafah Islam. Dengan begitu, juga sepakat terhadap unifikasi negeri Islam di bawah naungan negara Khilafah….



[1] As-Syawkâni, as-Sayl al-Jarrâr al-Mudaqqiq ‘alâ Hadâ’iq al-Azhâr, juz IV, hal. 512.

[2] Al-Qanûji, ar-Rawdh an-Nadiyyah, juz II, hal. 518.

[3] As-Syawkâni, as-Sayl al-Jarrâr al-Mudaqqiq ‘alâ Hadâ’iq al-Azhâr, juz IV, hal. 512.

[4] Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, juz III, hal. 430; ‘Alî Hasaballah, Ushûl at-Tasyrî’ al-Islâmi, hal. 38.

[5] Al-Badakhsyi, Manâhij al-‘Uqûl fî Syarh Minhâj al-Ushûl, juz I, hal. 170; ‘Alî Hasaballah, Ushûl at-Tasyrî’ al-Islâmi, hal. 401. Dalam kitab Ushûl al-Fiqih karya Abû Zahrah, telah dinyatakan: Ketidaktahuan akan dalil akan menggugurkan taklîf, karena seruanya tidak mempunyai arah. hal. 351. Lihat, Wahbah az-Zuhayli, Ushûl al-Fiqih al-Islâmi, juz I, hal. 178.

[6] Al-Mâwardi, al-Ahkâm as-Sulthâniyyah, hal. 15.

[7] Muslim, Op. Cit., hadits no. 1835, juz III, hal. 1466.

[8] As-Siyar al-Kabîr wa Syarhuh[u], juz II, hal. 803.

[9] Muslim, Op. Cit., hadits no. 1835, juz III, hal. 1466.

[10] An-Nawawi, Syarh, juz VIII, hal. 40.

[11] As-Syawkâni, as-Sayl al-Jarrâr al-Mudaqqiq ‘alâ Hadâ’iq al-Azhâr, juz IV, hal. 512.

[12] Muhammad Zakariya al-Bardisi, Ushûl al-Fiqh, hal. 268.

Sabtu, 07 Januari 2012

Sunni-Syiah dalam Naungan Khilafah

Sekilas Tentang Sunni dan Syiah


Salah satu upaya kaum kafir memecah-belah kesatuan dan persatuan umat Islam adalah mengadu domba kaum Muslim melalui isu perbedaan mazhab, aliran kalam, kelompok dan golongan. Melalui agen-agennya, kaum kafir terus menanamkan fanatisme dan sentimen mazhab, kelompok dan golongan agar kaum Muslim sibuk memusuhi saudara-saudaranya sendiri dan melupakan musuh sejati mereka, yakni orang-orang kafir yang terus memerangi Islam dan kaum Muslim siang dan malam. Kaum kafir juga tidak segan-segan membentuk faksi-faksi di tubuh kaum Muslim untuk menimbulkan kesesatan, perselisihan dan permusuhan.

Di antara isu sentimen kelompok yang terus dieksploitasi untuk menghancurkan kesatuan kaum Muslim adalah isu Sunni-Syiah. Isu ini secara efektif digunakan oleh Amerika Serikat, pasca invasi di Irak, untuk memecah-belah kekuatan kaum Muslim serta mengalihkan medan pertempuran sebenarnya, yakni berperang melawan tentara Amerika Serikat, ke arah perang antara kelompok Sunni dan Syiah. Amerika Serikat juga mempersenjatai dan mendanai kelompok-kelompok di Irak untuk menimbulkan konflik internal di tubuh kaum Muslim. Dengan cara seperti itu, perlawanan kaum Muslim menjadi lemah, dan eksistensi penjajahan Amerika Serikat di Irak bisa tetap bertahan hingga sekarang.

Padahal kaum Sunni dan Syiah di Irak dan juga negeri-negeri Islam yang lain sejak ribuan tahun yang lalu bisa hidup harmonis dan berdampingan satu dengan yang lain. Tidak hanya itu saja, di sepanjang lintasan sejarah Khilafah Islamiyah, kelompok Sunni dan Syiah, mendapatkan perlakuan yang sama, baik di depan hukum maupun politik. Dalam batas-batas tertentu, pemikiran hukum dan kalam Sunni dan Syiah berkembang dan diakomodasi dengan baik oleh penguasa-penguasa Islam pada saat itu.

Hal ini bisa dimengerti, karena Negara Khilafah adalah institusi politik yang bertugas mengatur urusan rakyat dengan syariah Islam, tanpa memandang lagi latar belakang agama, mazhab, golongan, suku, ras dan lain sebagainya; dan menyebarkan risalah Islam ke seluruh penjuru dunia dengan dakwah dan jihad. Dalam konteks ri’ayah, Negara Khilafah berdiri di atas semua kelompok, golongan dan agama serta memperlakukan kelompok-kelompok tersebut berdasarkan ketentuan-ketentuan syariah yang dilegalisasinya.

Negara Khilafah bukanlah negara milik kelompok tertentu, mazhab tertentu, atau untuk agama tertentu; tetapi ia adalah institusi yang menaungi dan mengatur seluruh entitas yang ada di dalam Daulah Khilafah Islamiyah tanpa terkecuali, berdasarkan syariah Islam.
Adapun konflik-konflik bersenjata yang terjadi pada masa Kekhilafahan jarang sekali disebabkan karena faktor perbedaan pendapat dalam bidang fikih, mazhab, maupun kelompok; tetapi lebih diakibatkan karena intrik-intrik politik di pusat-pusat kekuasaan, riddah dan bughat.


Perkembangan Sunni dan Syiah

1. Syiah.


Kemunculan Sunni dan Syiah dapat ditelusuri dari intrik politik seputar siapa yang paling berhak menggantikan kedudukan Nabi saw. sebagai kepala Negara. Pada awalnya, persoalan ini tidak pernah menyulut pertikaian di antara para Sahabat, kecuali hanya percikan-percikan belaka. Bahkan para Sahabat tidak pernah menjadikan masalah tersebut sebagai alat untuk menikam maupun menyerang Sahabat yang lain. Hingga masa Khalifah Ali bin Abi Thalib pun, persoalan siapa yang paling berhak menjadi khalifah atau imam, bukanlah penyebab yang menyulut terjadinya Perang Jamal maupun Perang Shiffin. Namun, persoalan ini kemudian dieksploitasi sekelompok orang untuk memecah belah kesatuan dan persatuan kaum Muslim.

Sumber-sumber terpercaya dari kalangan Sunni dan Syiah sepakat bahwa pihak yang menyebarkan benih-benih fitnah di kalangan kaum Muslim adalah orang Yahudi yang berpura-pura masuk Islam, yakni Abdullah bin Saba’1. Dialah orang pertama yang menyebarkan pemikiran-pemikiran beracun, seperti kedustaan atas nama Ahlul Bait; pendiskreditan terhadap Abu Bakar, Umar dan Utsman ra.2; pengkultusan terhadap Ali dan seruan untuk hanya berpihak kepadanya; penentangan terhadap Khalifah Utsman bin Affan ra.3; dan lain sebagainya.

Menurut Dr. Amir an-Najjar, Abdullah bin Saba’ jualah yang memiliki andil dalam mengobarkan Perang Jamal dan Perang Shiffin. Propaganda-propaganda sesat Abdullah bin Saba’ menemukan momentumnya setelah majelis tahkîm (Ramadhan, 37 H/657 Masehi) gagal menyelesaikan pertikaian antara Khalifah Ali ra. dan Muawiyah bin Abi Sufyan. Kegagalan ini menyebabkan lahirnya kelompok Syiah (pendukung Ali) dan Khawarij, kelompok yang memisahkan diri dari kelompok ‘Ali maupun Muawiyah.4

Di kemudian hari, perselisihan tersebut tidak hanya berpengaruh dalam membentuk sikap politik kelompok Syiah dan Khawarij, tetapi juga memberikan andil dalam pembentukan pemikiran-pemikiran keagamaan mereka. Intrik ini telah bergeser sedemikian jauh dari persoalan politik ke arah persoalan ideologis. Lahirlah kelompok-kelompok yang mengembangkan ajaran-ajaran ekstrem yang tidak pernah dikenal oleh kaum Muslim sebelumnya.

Kelompok Syiah terus berkembang dan tetap eksis hingga sekarang. Yang paling menonjol adalah Syiah Itsnai ‘Asyarah (Syiah 12). Ada pula kelompok Syiah Imamiyah (Syiah 6), Syiah Zaidiyah, Kaisaniyah, Ismailiyah, Fathimiyah dan lain sebagainya. Hampir seluruh kelompok Syiah menyakini sepenuhnya bahwa hak Imamah telah ditetapkan oleh nash syariah kepada Ali ra. dan keturunannya. Hanya saja, di antara kelompok-kelompok Syiah tersebut terdapat perbedaan pendapat dalam menetapkan siapa keturunan Ali ra. yang berhak memegang tampuk Imamah. Dari sisi fikih dan akidah, kelompok Zaidiyah sangat dekat dengan Ahlus Sunnah. Oleh karena itu, karya ulama Zaidiyah juga sering dijadikan rujukan kalangan Sunni. Kelompok Zaidiyah juga tidak sampai mencela atau mencerca para Sahabat besar seperti halnya kelompok-kelompok Syiah lainnya. Kelompok Zaidiyyah memperlakukan para Sahabat sebagaimana kelompok Sunni.

2. Sunni.


Terkait dengan kelompok Sunni, keragaman pendapat dalam kelompok ini di bidang fikih, ushul fikih, kalam dan bidang-bidang lain juga sangatlah kaya. Di bidang fikih, berkembang mazhab Hanafi, Maliki, Syafii, Hanbali, Zhahiri, dan lain sebagainya. Di bidang ilmu tauhid berkembang pemikiran Imam Asy’ari, Maturidi, Thahawi, Bazdawi, Asnawi, Isyfiraini, al-Ghazali, dan lain sebagainya. Walaupun dalam banyak persoalan mereka berbeda pendapat, para ulama Sunni telah menggariskan pokok-pokok keimanan yang tidak boleh diselisihi oleh kaum Muslim; yakni iman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, Hari Kiamat serta qadla dan qadar. Pandangan mereka terhadap persoalan Imamah atau Khilafah juga beragam. Hanya saja, seluruh ulama Sunni mengakui legalitas tiga khalifah sebelum Ali ra. serta mengakui keadilan para Sahabat Nabi saw. dan hak Kekhilafahan tidak hanya di tangan Ali ra. dan keturunannya saja meski sebagian mazhab Syafii berpandangan bahwa khalifah harus dijabat oleh suku Quraisy.

Dalam konteks kalam, pandangan Imam Asy’ari dalam menyikapi ayat-ayat shifat berbeda dengan pandangan Imam Maturidi. Selain itu, pandangan dan perlakuan ulama-ulama Sunni terhadap Ahlul Bait selalu bersandarkan pada wasiat dan pesan Nabi saw. Dalam pandangan ulama Sunni, Ahlul Bait tidaklah terjaga dari dosa alias ma’shûm sebagaimana Rasulullah saw. Hanya saja, Ahlul Bait mendapatkan kedudukan dan tempat yang sangat mulia di sisi kelompok Sunni, sebagaimana para Sahabat besar Nabi saw. yang lain.

Dalam lintasan sejarahnya yang panjang, keragaman pendapat yang terdapat pada kelompok Sunni dan Syiah pada batas-batas tertentu tidak pernah menyulut terjadinya konflik yang pelik, kecuali setelah isu Sunni-Syiah ini dipolitisasi sedemikian rupa untuk menimbulkan perpecahan di tengah-tengah kaum Muslim serta untuk kepentingan politik dan kekuasaan. Namun, dari sisi pemikiran hukum maupun politik, kalangan Sunni dan Syiah sudah terbiasa dengan perbedaan pendapat. Kedua kelompok ini bisa hidup berdampingan dan saling menghormati satu sama lain. Kenyataan ini bisa dilihat dari sikap para ulama kalangan Sunni terhadap ulama Syiah dan sebaliknya. Ulama-ulama mu’tabar dari kalangan Sunni menempatkan Ahlul Bait [yang oleh kalangan Syiah dijadikan sebagai panutan dan pemimpin mereka] pada kedudukan yang tinggi dan mulia.

Ibnu Syihab az-Zuhri (50-123 H), misalnya, seorang ulama besar dari kalangan Sunni, memberikan komentar terhadap Ali Zainal Abidin dengan ungkapan, “Saya belum menyaksikan seseorang yang lebih ahli dalam bidang hukum daripada Ali bin al-Husain. Hanya saja, beliau ini sedikit berhadis.”

Ibnu Musayyab, ulama besar Sunni yang lain melukiskan kepribadian Ali bin al-Husain, “Saya belum menyaksikan orang yang lebih wara’ daripada beliau.”

Simak juga bagaimana penilaian Muhammad bin Ali atau Abu Ja’far al-Baqir (w. 133 H) terhadap Abdullah bin Umar (w. 73 H), “Di antara para Sahabat Rasulullah, tak seorang pun jika mendengarkan sabda Rasulullah saw. bersikap lebih hati-hati untuk tidak menambahi atau mengurangi daripada Abdullah bin Umar.” (Ibnu Saad, Ath-Thabaqât, II/125).
Di sisi lain, Imam Ja’far bin ash-Shadiq pernah menjadi guru Imam Abu Hanifah (w. 150 H) dan Imam Malik bin Anas ra (w. 179 H).

Dari kalangan Syiah Zaidiyah, kaum Muslim juga mengenal Zaid bin Ali ra. Pandangan-pandangan beliau mengenai syariah, hadis dan para Sahabat besar tidak ada bedanya dengan pandangan kaum Sunni, kecuali dalam bidang Imamah (kepemimpinan). Zaid bin Ali (w. 122 H) lahir di Madinah al-Munawarah. Beliau banyak belajar dari ulama-ulama Sunni terkemuka seperti Said ibn Musayyab, Abu Bakar bin Abdurrahman, Urwah bin Zubair, Ubaidillah bin Abdillah dan ulama-ulama besar Madinah lainnya.

Bukti lain yang menunjukkan bahwa perbedaan pendapat di kalangan Sunni dan Syiah adalah kaum Muslim dari kalangan Sunni dan Syiah yang hidup di daerah Kufah, Yaman dan negeri-negeri Islam lain; mereka bisa hidup berdampingan dengan damai dan harmonis. Adanya konflik-konflik bersenjata yang terjadi di dalam sejarah Kekhilafahan lebih diakibatkan karena alasan-alasan yang bersifat politis, semacam perebutan kekuasaan dan intrik-intrik politik.

Kebijakan Khilafah Mempersatukan Sunni-Syiah

Pada dasarnya, untuk menciptakan stabilitas negara dan persatuan umat Islam yang sangat mejemuk dan beragam tersebut, sikap resmi Negara Khilafah dapat dijabarkan sebagai berikut;

1. Mengakomodasi pendapat dan pendirian mereka selama pendapat tersebut belum dianggap menyimpang dari akidah dan syariah Islam. Kelompok-kelompok seperti ini tetap dianggap sebagai bagian dari kaum Muslim dan diperlakukan layaknya kaum Mukmin. Mereka diberi hak untuk menyebarkan pendapat dan pendiriannya di wilayah Khilafah Islamiah tanpa ada larangan sedikit pun. Mereka juga diberi hak untuk mengakses jabatan-jabatan penting Negara Khilafah.

2. Kelompok-kelompok yang telah menyimpang dari akidah Islam, atau terjatuh pada penakwilan-penakwilan yang sesat. Mereka dihukumi sebagai kelompok yang telah keluar dari Islam (murtad). Kebijakan Negara Khilafah dalam masalah ini sangat jelas: menasihati mereka agar kembali pada jalan yang lurus, menjelaskan kesesatan pendirian mereka dan memberi tenggat waktu untuk bertobat. Jika mereka menolak dan tetap dalam pendiriannya barulah mereka diperangi.

3. Kelompok-kelompok pemikiran maupun politik yang membangkang (bughat), melakukan tindak kerusakan (hirâbah), memecah-belah persatuan dan kesatuan jamaah kaum Muslim, atau melakukan persekongkolan dengan kafir harbi. Mereka ini akan ditindak dan diperlakukan sesuai dengan ketentuan syariah Islam atas pelanggaran yang mereka lakukan.

4. Selain menegakkan sanksi yang tegas atas kelompok-kelompok yang hendak merusak kesatuan kaum Muslim dan instabilitas negara, Khilafah juga melakukan upaya-upaya edukasi yang terus-menerus mengenai pentingnya menjaga kesatuan dan persatuan kaum Muslim serta meninggalkan fanatisme kelompok yang berlebihan.

Kebijakan-kebijakan di atas telah dipraktikkan oleh para khalifah pada masa keemasan Islam. Misalnya, terhadap kelompok Khawarij, Khalifah Ali bin Abi Thalib ra. tidak melarang mereka shalat di masjid. Mereka juga diberi bagian rampasan perang sebagaimana kaum Muslim yang lain. Beliau juga tidak melancarkan peperangan terhadap mereka, kecuali jika mereka menyerang terlebih dulu. Ketika kelompok Khawarij kalah dalam peperangan, mereka tidak dikejar-kejar untuk dibinasakan. Mereka dibiarkan kembali ke rumah masing-masing, mendapatkan perlakuan layaknya kaum Muslim dan tetap mendapatkan keamanan dari beliau.5

Sikap seperti ini juga ditempuh oleh Umar bin Abdul Aziz terhadap kelompok Khawarij pada masanya. Beliau berdiskusi dengan mereka untuk memahamkan dan menasihati mereka agar kembali kepada jalan yang benar. Saat mereka menolak serta melakukan pembangkangan barulah beliau mengirim pasukan perang.6

Pada masa Kekhilafahan Bani Umayah, tepatnya pada masa pemerintahan Mughirah bin Syu’bah, beliau tidak menggunakan kekuatan militer karena adanya perbedaan pendapat di tengah-tengah masyarakat. Jika ada orang berkata kepadanya bahwa seseorang beraliran Syiah atau Khawarij, ia pun menjawab, “Allah membiarkan mereka saling berbeda dan Allah pun akan menghukumi para hambanya yang bersalah.”7 Namun, ketika kelompok Khawarij bergerak di Kufah, membuat kerusakan dan mengobarkan pembangkangan, beliau pun bersiap memerangi mereka.8

Kebijakan serupa juga ditempuh oleh para khalifah dari Bani Abbasiyah. Khalifah al-Muktafi pernah berkirim surat kepada Abu Said al-Janabi (seorang panglima perang dari Syiah Qaramithah) yang berisi penjelasan mengenai kesesatan kelompok mereka dan ajakan untuk menghilangkan perpecahan di antara umat Islam. Khalifah Malik Syah juga pernah mengirim surat kepada kelompok Ismailiyah untuk mengajak mereka kembali pada ajaran Islam yang benar.
Akhirnya, dari seluruh uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kesatuan dan persatuan kaum Muslim hanya bisa ditegakkan secara hakiki jika di tengah-tengah mereka ada khalifah (Khilafah) yang mengatur urusan mereka dengan syariah Islam. Wallâhu a’lam bi ash-shawâb. [Fathiy Syamsuddin Ramadhan An-Nawiy]

Catatan kaki:

1 Untuk literatur Syiah, bisa dibaca karya-karya Imam al-Kasyi, an-Nubakhti dan lain-lain. Untuk literatur Sunni dapat dibaca karya Imam ath-Thabari dan lain sebagainya. Lihat: Imam al-Kasyi, Rijâl al-Kasyi, hlm. 100-101; Imam atth-Thabari, Târîkh al-Mulûk wa al-Umam, V/90.

2 Lihat: an-Nubakhti, Firqah aasy-Syî’ah, hlm. 43-44, Cet. Haidariyyah, Najaf, Iraq, 1959.

3 Tarikh Syi’ah, Rawdhah ash-Shafâ, II/292.

4 Dr Amir An Najjar, Al-Khawârij: ‘Aqîdat[an] wa Fikr[an] wa Falsafat[an] (Aliran Khawarij; Mengungkap Akar Perselisihan Umat [Terjemahan]), Penerbit Lentera, 1993, Jakarta.

5 Lihat: Ibnu Atsir, Al-Kâmil, III/169 dan 173; Ibnu Taimiyah, Majmû’ al-Fatawa, XXVIII/468.

6 Lihat diskusi antara Umar bin Abdul Aziz dengan mereka dalam Ibnu Atsir, Al-Kâmil, IV/155-156. Pada masa Abu Bakar ra., beliau bertindak tegas terhadap kelompok yang menolak pensyariatan zakat serta kaum murtad yang bermunculan di jazirah Arab. Sebagaimana ketentuan syariah, orang-orang yang murtad dari Islam harus dinasehati dan diberi tenggat waktu untuk bertobat (kembali pada Islam); mereka baru diperangi jika setelah itu mereka masih tetap membangkang.

7 Ibnu Atsir, Al-Kâmil, III/210.

8 Ibid, III/212.

sumber : http://hizbut-tahrir.or.id/2009/11/10/sunni-syiah-dalam-naungan-khilafah/


(nb:Di Iraq dulu ada seorang ayatullah (syiah) menjadi syab. Namanya Ayatullah Baqir as-Sadr. Dia menulis kitab Islamuna & Iqtishaduna, yang tidak lain adalah Fikrul Islamy dan Niz. Iqtishady. Dia telah tewas sebagai syuhada di tangan rezim Saddam Hussein.,
keterangan syab iraq dlm wawancara:Apakah Anda mempunyai ulama yang berjuang untuk menegakkan Khilafah di Iraq?

Ulama pertama yang boleh dikenang adalah Syaikh Abdul Aziz al-Badri, dimana beliau telah dibunuh oleh rezim Baats dan beliau adalah seorang syabab Hizbut Tahrir. Banyak lagi ulama dan syabab yang berjuang untuk menegakkan kembali Khilafah.

Banyak ulama dan syabab yang berjuang demi tegaknya Khilafah telah dibunuh oleh rezim Iraq. Apakah Anda mengenali syabab-syabab ini?

Saddam Hussein adalah seorang pemimpin diktator, yang memerintah dengan sangat kejam dan menerapkan sistem Sosialis kepada rakyat. Dia meyakini semangat Nasionalisme Arab dan menyatukan mereka di bawah panji-panji Nasionalisme. Dia telah membunuh banyak para ulama yang berjuang untuk menegakkan kembali Khilafah seperti yang saya kemukakan tadi. Di antara yang paling awal adalah Syeikh Abdul Aziz al-Badri —semoga Allah merahmatinya— dan Syeikh Mohammad Baqir al-Sadr dan seorang syaikh yang telah mendidik saya di dalam Hizbut Tahrir, atau yang dikenal sebagai Anwar al-Mousuli. Beliau telah dibunuh pada tahun 1980)

Kedudukan Syi'ah di Tengah-Tengah Umat Islam

A. Pengertian Syî’ah Secara Umum
Syî’ah: asalnya adalah mereka yang mendukung Ali bin Abi Thalib ra, kemudian menjadi kelompok tersendiri diantara kelompok-kelompok kaum muslimin, dengan keyakinan bahwa khilafah adalah hak Ali bin Abi Thalib ra dan para keturunannya, kemudian mereka terbagi menjadi banyak kelompok dimana setiap kelompok memiliki paham-paham yang khas, yang dengannya mereka berbeda dari paham Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah.[1]

B. Sejarah Kemunculan
Kelompok Syî’ah terbentuk setelah rentetan peristiwa sejak akhir masa kekhilafahan ‘Utsman bin Affan ra. sampai khalifah Ali bin Abi Thalib ra. Semuanya bermuara pada sosok bernama Abdullah bin Saba’, seorang Yahudi yang mengaku muslim, meninggal tahun 40 H. Dia melakukan makar jahat di masa khalifah ‘Utsman, memutus hubungan kaum muslim Kufah, Bashrah, dan Mesir dengan pemimpin mereka, menggunakan politik belah bambu, mengangkat Sahabat Ali bin Abi Thalib ra. dan menjatuhkan sahabat lain (Abu Bakar, ‘Umar, dan ‘Utsman ra.). Dengan meyebarkan beberapa ajaran menyesatkan, diantaranya: (a) bahwa Nabi Muhammad saw bisa dan akan kembali sebagaimana Nabi Isa as., (b) bahwa Ali bin Abi Thalib ra adalah wasiat Nabi saw sebagai khalifah setelah beliau, dan (c) mencela Abu Bakar, ‘Umar bin Khaththab, dan ‘Utsman bin ‘Affan ra. karana dianggap telah merampas hak khilafah dari Ali bin Abi Thalib ra. Hingga kemudian terjadi peristiwa pengepungan dan pembunuhan terhadap Khalifah ‘Utsman pada tahun 35 H[2]. Setelah itu, muncullah dua kubu: Syi’ah ‘Utsmaniyyah dan Syi’ah ‘Alawiyyah[3]. Dua kubu besar ini berakhir dengan kemenangan di kubu ‘Utsman, ditandai dengan kekuasaan yang berada di tangan Mu’awiyah. Sedangkan kubu Ali terpecah lagi menjadi dua: pendukung Ali dan Khawarij (penentangnya saat peristiwa tahkim). Pendukung Ali pun ada dua macam, yang adil dari kalangan keturunannya dan sahabat Nabi, mereka diterima periwayatannya, dan al-ghulat (yang berlebihan) dari orang-orang yang tercemari paham bawaan Abdullah bin Saba’[4]. Macam kedua ini lah yang dikemudian hari bernama Syi’ah, dan terpecah lagi menjadi banyak kelompok dan turun-temurun sampai saat ini.

C. Macam-macam kelompok Syî’ah
Menurut Imam Abu Manshur Al-Baghdadi (w. 429 H) dalam Al-Farq bayna Al-Firaq, Syî’ah terbagi menjadi 20 kelompok, masing-masing kelompok merupakan cabang dari tiga kelompok besar berikut.
1. Al-Kaisaniyyah, oleh Al-Mukhtar bin Abu ‘Ubaid Ats-Tsaqafi (m. 67 H).
(Al-Harbiyyah dan Al-Bayaniyya)
2. Az-Zaidiyyah, oleh Zaid bin Ali Zainal Abidin bin Al-Husain ra (w. 122 H).
(Al-Jarudiyyah, As-Sulaimaniyyah, dan Ash-Shalihiyyah)
3. Ar-Rafidhah/Al-Imamiyyah, oleh Abdullah bin Saba’ (m. 40 H).
(Al-Kamiliyyah, Al-Muhammadiyyah, Al-Baqiriyyah, An-Nawusiyyah, Asy-Syumaithiyyah, Al-‘Ammariyyah, Al-Ismai’iliyyah/Al-Bathiniyyah, Al-Mubarakiyyah, Al-Musawiyyah, Al-Qathi’iyyah, Al-Itsna’asyariyyah, Al-Hisyamiyyah, Az-Zarariyyah, Al-Yunusiyyah, dan Asy-Syaithaniyyah).
Asy-Syahrastani (w. 548 H) dalam Al-Milal wa An-Nihal, menyebutkan secara tersendiri kelompok-kelompok Syi’ah yang melampaui batas dengan sebutan: Al-Ghaliyyah[5] (mereka adalah: As-Sabaiyyah, Al-Kamiliyyah, Al-‘Ilya’iyyah, Al-Mughiriyyah, Al-Manshuriyyah, Al-Khaththabiyyah, Al-Kayyaliyyah, Al-Hisyamiyyah, An-Nu’maniyyah, Al-Yunusiyyah, dan An-Nashiriyyah), dan Al-Isma’iliyyah atau lebih dikenal dengan Al-Bathiniyyah.

D. Diantara Ajaran Pokok Syî’ah dan Perbedaannya dengan Ahlussunnah
1. Sumber Syari’at
Syi’ah: Al-Qur’an telah mengalami distorsi kecuali mushhaf Ali[6], hanya menerima Al-Hadits yang diriwayatkan ahlul-bayt[7], hanya mengakui Ijma’ ahlul-bayt [8], fatwa para Imam ma’shum[9], dan tidak mengakui qiyas. Ahlussunnah: Al-Qur’an yang ada adalah asli, mengakui hadits yang diriwayatkan semua sahabat[10], mengakui ijma’ sahabat, tidak mengakui fatwa Imam yang dianggap ma’shum, dan mengakui qiyas.
2. Al-Imâmah
Syi’ah: keberadaan Imam adalah wajib dan masuk dalam wilayah keimanan, diangkat berdasarkan nash atau wasiat Imam sebelumnya[11]. Ahlussunnah: keberadaan Imam adalah wajib namun masuk wilayah syari’ah, dan pengangkatannya dengan metode bai’at.
3. Al-‘Ishmah
Syi’ah: para Imam adalah ma’shum terbebas dari kesalahan dan dosa[12]. Ahlussunnah: sifat al-‘ishmah hanya dimiliki oleh para Nabi dan Rasul.

E. Pandangan HT terhadap Syî’ah
“Adapun Syî’ah, pertentangannya dengan ushul Syafi’i amat besar. Mereka telah menjadikan (menganggap) seluruh perkataan Imam (mereka) sebagai dalil syara’, sama seperti al-Kitab dan Sunnah. Paling tidak perkataan-perkataan para Imam dianggap sebagai hujjah setelah hujjah al-Kitab dan Sunnah. Mereka menjadikan perkataan para Imam sebagai takhsish terhadap Sunnah. … Syî’ah Imamiyah meletakkan Imam-imam mereka sejajar dengan Sunnah. Dan ijtihad menurut mereka terkait dengan mazhab, sehingga tidak boleh seorang mujtahid bertentangan pendapat-pendapat mazhabnya. Artinya seorang mujtahid tidak boleh berijtihad dengan sesuatu yang bertentangan dengan perkataan-perkataan seorang Imam yang shadiq (benar). Dan mereka menolak hadits kecuali yang melalui jalur para Imam mereka. Mereka juga tidak mengambil qiyas. Imam-imam mereka sepakat sebagaimana yang mereka riwayatkan dalam kitab-kitabnya bahwa syariat apabila diqiyaskan akan melenyapkan agama.”[13]
“Kemudian muncul kelompok lain dari kaum Muslim yang menyukai Ali bin Abi Thalib ra dan mencintai keturunannya. Mereka menganggap bahwa Ali beserta keturunannya lebih berhak memegang kekhilafahan dari pada yang lainnya. Ali adalah orang yang diberi wasiat oleh Rasul untuk menjadi Khalifah setelah beliau. Mereka menolak banyak hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah oleh jumhur sahabat. Mereka tidak menyandarkan kepada pendapat-pendapat dan fatwa para sahabat. Mereka hanya bersandar kepada hadits-hadits yang diriwayatkan oleh imam-imam mereka dari ahlul bait dan fatwa-fatwa yang bersumber dari mereka. Mereka memiliki fiqih tersendiri. Mereka ini adalah kaum Syî’ah.” [14]
Dua maqâlah Syaikh Taqyuddin di atas, yang pertama menerangkan Syi’ah sebagai madzhab fiqh, dan kedua sebagai kelompok politik. Beliau juga mengkritik nash-nash yang digunakan Syi’ah dalam penetapan Imam sepeninggal Nabi saw[15], dan dalam menetapkan sumber-sumber hukum syara’[16]. Dari sisi akidah, dalam kitab Muqaddimah Ad-Dustur, Syaikh Taqyuddin menyebutkan kelompok Syi’ah Ad-Duruz sebagai kafir[17], dan dalam kitab Al-Amwal fi Daulah Al-Khilafah, Syaikh ‘Abdul Qadim Zallum menyebut kelompok Syi’ah yang menuhankan Ali sebagai kafir.
“Adapun individu-individu atau kelompok-kelompok yang awalnya berislam kemudian mereka murtad, dan mereka ada sampai saat ini, maka dilihat terlebih dahulu fakta keberadaan mereka yang ada. Apabila mereka dilahirkan oleh murtad dan bukan kemauan mereka sendiri (untuk murtad), melainkan orang-tua atau nenekmoyang mereka yang murtad, seperti golongan Syi’ah Ad-Duruz, pengikut Al-Bahaiyyah, Al-Ismailiyyah, An-Nashiriyyah, yang menuhankan Ali bin Abi Thalib, maka mereka tidak diperlakukan sebagai murtad, akan tetapi mereka diperlakukan sebagaimana perlakuan terhadap Majusi dan Shabi’ah. Ditarik dari mereka jizyah, sembelihan mereka tidak dimakan, wanita-wanita mereka tidak dinikahi, kecuali jika mereka mau memperbaharui keislaman mereka, dan mengulangi masuk Islam, maka berlaku bagi mereka hukum terhadap kaum muslimin.”[18]
F. Batasan Millah Islamiyyah
Imam Abu Manshur Al-Baghdadi (w. 429 H): “Dan pendapat yang benar menurut kami, bahwa Umat Islam adalah sekumpulan mereka yang menetapkan adanya penciptaan alam, ke-esa-an penciptanya, ke-qadiman-Nya, sifat-sifat-Nya, keadilan-Nya, kebijaksanaan-Nya, menafikan penyerupaan terhadap-Nya, mengakui kenabian Muhammad dan kerasulan Beliau untuk semua manusia, mendukung syariatnya dan bahwa semua yang dibawanya adalah kebenaran, al-qur’an adalah sumber hukum syara’, dan bahwa ka’bah adalah kiblat shalat. Maka siapa saja yang menetapkan hal itu semua dan tidak mencampurkan bid’ah yang bisa mengantarkan pada kekufuran maka ia adalah orang sunni yang bertauhid. Dan apabila ditambahkan ke dalam perkataan-perkataan tersebut apa yang kami sebut sebagai bid’ah yang buruk, maka dilihat terlebih dahulu. Jika berupa bid’ah al-bathiniyyah, al-bayaniyyah, al-mughirah, atau al-khaththabiyyah yang meyakini ketuhanan para imam atau ketuhanan sebagian imam mereka, atau berupa madzhab al-hulul, penganut reinkarnasi, atau berupa madzhab al-maymunah dari kalangan khawarij yang membolehkan menikahi cucu perempuan dari anak perempuan dan cucu perempuan dari anak laki-laki, atau berupa madzhab al-yaziidiyyah dari al-ibaadhiyyah mengenai perkataannya bahwa syari’at islam dihapus di akhir zaman, menganggap mubah apa saja yang diharamkan dan mengharamkan apa saja yang dibolehkan oleh nash al-qur’an yang tidak mengandung kemungkinan-kemungkinan ta’wil, maka dia bukan tergolong umat islam dan ia tidak memiliki kemuliaan. Adapun jika bid’ahnya termasuk jenis bid’ah al-mu’tazilah, al-khawarij, ar-rafidhah al-imaamiyyah, az-zaidiyyah, atau bid’ah yang termasuk pada bid’ah al-bukhariyyah, al-jahmiyyah, adh-dhirariyyah, al-mujassimah maka dia masih tergolong umat islam pada sebagian hukum, dan dia boleh dikuburkan di pemakaman kaum muslimin dan tidak dihalangi bagiannya dari harta fai dan ghanimah jika ia berperang bersama kaum muslimin, dia tidak dilarang shalat di masjid-masjid. Namun dia tidak termasuk golongan kaum muslimin dalam hukum-hukum selain itu, yaitu dia tidak boleh dishalati, tidak boleh menjadi makmumnya, tidak halal hewan sembelihannya, tidak boleh menikahi wanita sunniyyah, demikian juga tidak halal bagi laki-laki sunni menikahi wanita dari kalangan mereka jika wanita-wanita itu masih dengan keyakinan mereka. Ali bin Abi Thalib ra. telah berkata kepada kaum khawarij, “Atas kami bagi kalian ada tiga hal, yaitu kami tidak akan memulai perang melawan kalian, kami tidak akan melarang kalian memasuki masjid-masjid Allah untuk berdzikir menyebut nama Allah, dan kami tidak akan menghalangi kalian dari harta fai selama kalian berjuang bersama kami”. Wallahu a’lam”.[19]

G. Kesimpulan
Berdasarkan riwayat, sejarah, dan fakta di atas, maka penyikapan terhadap Syi’ah adalah sebagai berikut.
1. Secara individu, perlakuan terhadap penganut Syî’ah adalah perlakuan terhadap mubtadi’ (pelaku bid’ah) sebagaimana halnya penganut mu’tazilah dan khawarij, berdasarkan Al-An’am [6]: 68. Imam Asy-Syaukani rahimahullah menjelaskan dalam kitab tafsirnya: “Di dalam ayat ini terdapat pesan yang sangat agung bagi siapa yang membolehkan bergaul dengan ahli bid’ah yang mendistorsi firman Allah, mempermainkan kitab-Nya dan sunnah rasul-Nya, menundukkannya pada hawa nafsu mereka yang sesat dan bid’ah mereka yang rusak. Jika dia tidak mampu mengingkari dan mengubah apa yang ada pada mereka, maka paling tidak dia meninggalkan bergaul dengan mereka, dan itu mudah baginya tidak sulit.”[20]
2. Sebagai rakyat Negara Khilafah, mereka diperlakukan layaknya umat Islam lainnya, tidak dipungut dari mereka jizyah, mendapat bagian dari fay’ dan ghanimah jika ikut berperang bersama kaum muslimin yang lain. Sebagaimana Imam Ali bin Abi Thalib ra memperlakukan Al-Haruriyyah pada masa pemerintahan beliau.
3. Sebagian golongan Syî’ah yang penyimpangannya menjadikan mereka keluar dari Islam. Seperti; yang menganggap Ali bin Abi Thalib ra sebagai tuhan, menganggap Syari’at Islam telah dihapus, malaikat jibril “salah orang” dalam menyampaikan wahyu, dll, maka mereka dihukumi kafir/murtad oleh Negara, sikap serupa juga terhadap Ahmadiyah, Ingkar Sunnah, dll. Hal ini sebagaimana sikap Abu Bakar Ash-Shiddiq ra terhadap mereka yang murtad sebab menolak kewajiban Zakat sepeningga Nabi saw[21].
WaLlâhu ta’âlâ a’lam []

------------------------------------------------
[1] Prof. Dr. Rowwas Qol’ahji, Mu’jam Lughatil Fuqaha, hlm 268

[2] Lihat Ibn Al-Atsir (w. 630 H), Al-Kamil fi At-Tarikh, vol II, hlm 8

[3] Syi’ah di sini belum berupa kelompok, melainkan sebatas pendukung. Masing-masing kubu didukung sejumlah sahabat, misalnya Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Aisyah, Thalhah bin ‘Ubaidillah, dan Zubair bin ‘Awwam di kubu ‘Utsman, sedangkan Abu Dzar Al-Ghifari, Miqdad bin Aswad, Jabir bin Abdillah, ‘Ubay bin Ka’ab, dan Abu Thufail ‘Amir bin Watsilah di kubu ‘Ali.

[4] Dari Abu Hibrah berkata: aku mendengar Ali bin Abi Thalib berkata: “dua macam orang akan binasa, yang berlebihan dalam mencintaiku dan berlebihan dalam membenciku.” (mushannaf Ibn Abi Syaibah, vol XII, hlm 84).

[5] Penyimpangan kelompok-kelompok ini berkisar seputar; pengakuan At-Tasybih (penyerupaan tuhan), Al-Bida’ (perubahan ilmu Allah), Ar-Raj’ah (kebangkitan sebelum kiamat), dan At-Tanasukh (reinkarnasi).

[6] Disebut juga mushhaf Fathimah yang tebalnya tiga kali tebal dari mushhaf ‘Utsmani, namun faktanya mushhaf tersebut tidak dijumpai. Mereka mengatakan mushhaf tersebut akan muncul bersama Al-Imam Al-Mahdi di akhir zaman. Untuk sementara boleh membaca dan mengamalkan isi Al-Qur’an yang ada sekarang.

[7] Sedangkan hadits yang diriwayatkan melalui jalan para sahabat Rasulullah saw (selain Miqdad bin Al-Aswad, Abu Dzar Al-Ghifari, dan Salman Al-Farisi), mereka sama sekali menolaknya. Berdasarkan riwayat dari Imam ke-enam mereka:
Dari Abu Ja’far: “seluruh kaum muslimin menjadi murtad setelah wafatnya Nabi saw, kecuali tiga orang.” Dikatakan kepadanya: siapa tiga orang tersebut?, dia menjawab: “Al-Miqdad bin Al-Aswad, Abu Dzar Al-Ghifari, dan Salman Al-Farisi.” (Al-Kulaini, Al-Kafi, hlm 115)
Perlu diketahui juga bahwa kalangan Syi’ah Rafidhah sering memalsukan hadits.
Dari Hammad bin Abi Salamah, berkata kepadaku salah seorang Syaikh mereka –yakni kaum Ar-Rafidhah– yang telah bertaubat: “Jika kami sedang berkumpul dan menganggap baik sesuatu, maka kami menjadikannya sebagai hadits Nabi.” (Al-Jami’ li Akhlaq Ar-Rawi, vol I, hlm 138)

[8] Az-Zaidiyyah, karya Ash-Shahib bin ‘Abbad (w. 385 H), hlm 247. Syaikh Taqyuddin membantah dengan baik ijma’ macam ini dalam Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, vol III, hlm 300.

[9] Adapun wilayah ijtihad bagi syi’ah, tidak boleh dalam perkara yang menyelisihi fatwa Imam ma’shum. Sedangkan kelompok Zaidiyyah memandang boleh ijtihad bagi yang mampu, bagi yang tidak mampu maka mengikuti pendapat madzhab lebih utama.

[10] Imam Ibnu Abdil Barr: Jika tentang para sahabat Nabi ra. (sebagai rowi) maka kami cukupkan pembahasan terkait kondisi-kondisi mereka, dikarenakan ijma’ para ‘ulama daiantara kaum muslimin, mereka adalah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah, bahwa mereka semuanya adil.” (Ibn Abdil Barr, Al-Isti’ab fi Ma’rifati Al-Ashhab, vol I, hlm 7)

[11] Jika tidak ada wasiat dari Imam sebelumnya, maka penetapan Imam berdasarkan bukti berupa khawariqul-‘adat (perkara-perkara luar-biasa/ajaib semacam mu’jizat), kecuali kelompok Zaidiyyah, mereka hanya mengakui metode bai’at.

[12] Berdasarkan keyakinan bahwa wahyu tidak putus sampai hari akhir dan bahwa Imam adalah penerus Rasulullah dalam menyampaikan ajaran Islam berdasarkan ilmu laduni. Namun perlu diketahui, bahwa keyakinan ini baru muncul di masa Ja’far Shadiq berdasarkan keterangan Ibnu Nadim (w. 438 H) dalam kitabnya Al-Fihrisit, hlm 239. Adapun Syi’ah Zaidiyyah tidak mengakui hal tersebut.

[13] Taqyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah (thab’ah mu’tamadah – 2003), vol I, hlm 362

[14] Ibid, vol I hlm 376

[15] Lihat Taqyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah (thab’ah mu’tamadah – 2003), vol II, hlm 35, 54-95

[16] Lihat Taqyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah (thab’ah mu’tamadah – 2005), vol III, hlm 64

[17] Lihat Taqyuddin An-Nabhani, Muqaddimah Ad-Dustur (thab’ah mu’tamadah – 2009), hlm 34. Penjelasan untuk pasal ke-7.

[18] Abdul Qadi Zallum, Amwal fi Daulah Al-Khilafah (thab’ah mu’tamadah – 2004), hlm 64.

[19] Abu Manshur Al-Baghdadi, Al-Farq bayna Al-Firaq, hlm. 10

[20] Asy-Syaukani, Fath Al-Qadir, vol II, hlm 429

[21] Setiap kekufuran yang tampak setelah (keberadaan) daulah Islam maka tidak boleh ditarik jizyah dari pelakunya. (Al-farq baynal-Firaq, hlm 347).

Kamis, 05 Januari 2012

ayah

Jazakallah bil jannah untuk setiap peluh yang kau teteskan, untuk
setiap kerut dahimu yang tak sempat kuhitung, untuk setiap jaga
sepanjang malam ketika aku sakit dan ketika kau merindukanku, untuk
tumis kangkung paling lezat sedunia, untuk tempat duduk terbaik di
bahumu yang begitu kekar ketika aku ingin melihat pawai, untuk tetes
"air mata laki-laki "yang begitu mahal ketika kau khawatirkan aku,
untuk kepercayaanmu padaku, meski seringkali ku hianati.
Tak akan pernah bisa terbalas segalanya, kecuali dengan
.......jazakallah bil jannah, " semoga Allah mengganti semuanya
dengan syurga, semoga bisa kubayar dengan syurga yang Alloh beri,
semoga........"
Dan untuk semua yang sedang merindukan Ayah, ssssssssttt. ..! Tau gak
siii? Ternyata ayah itu benar-benar MENAKJUBKAN

makhluk Allah yang paling menakjubkan imannya

“Wahai manusia, siapakah makhluk Allah yang paling menakjubkan imannya..??

(man a’jabul khalqi imanan)?”

Demikian pertanyaan Nabi Muhammad kepada sahabatnya di suatu pagi.
Para sahabat langsung menjawab, “Malaikat!”.

Nabi menukas, “Bagaimana para malaikat tidak beriman sedangkan mereka pelaksana perintah Allah?”

Kemudian Sahabat menjawab lagi, “kalau begitu, para Nabi-lah yang imannya paling menakjubkan!”

“Bagaimana para Nabi tidak beriman, padahal wahyu turun kepada mereka,” sahut Nabi.

Untuk ketiga kalinya, sahabat mencoba memberikan jawaban, “kalau begitu, sahabat-sahabatmu ya Rasul.”

Sampai jawaban itu Nabi pun menolak jawaban itu dengan berkata, “Bagaimana sahabat-sahabatku tidak beriman, sedangkan mereka menyaksikan apa yang mereka saksikan.” Rasul yang mulia meneruskan kalimatnya.

Akhirnya Nabi Muhammadpun Menjelaskan :

“Orang yang imannya paling menakjubkan adalah kaum yang datang sesudah kalian ( Umat Islam Sesudah zaman Nabi sampai sekarang). Mereka beriman kepadaku, walaupun mereka tidak melihatku. Mereka benarkan aku tanpa pernah melihatku. Mereka temukan tulisan dan beriman kepadaku. Mereka amalkan apa yang ada dalam tulisan itu. Mereka bela aku seperti kalian membela aku. Alangkah inginnya aku berjumpa dengan ikhwanku itu!”

Nabi Muhammad menghibur kita, “Berbahagialah orang yang melihatku dan beriman kepadaku,” Nabi ucapkan kalimat ini satu kali.

“Berbahagialah orang yang beriman kepadaku padahal tidak pernah melihatku.” Nabi ucapkan kalimat terakhir ini tujuh kali….ditujukan buat kita semua Umat Islam yang beriman dan bertakwa Kepada Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW.

book islami